Rabu, 15 Februari 2012

Bab 6

Again
     Paket dari Hani akhirnya ku temukan, sebuah kotak berukuran sedang yang dibungkus kertas kado berwarna-warni dan lucu sepertiku. Sebuah kartu ucapan ku dapatkan lagi.
Selamat ulang tahun Bintang…
Aku nggak bisa ngucapin langsung, tapi dari sini aku masih bisa menepati janjiku untuk memberikan kado spesial. Semoga terus menjadi Bintang yang bersinar dan memnyenangkan orang yang berada di sekitarmu. Semoga terus bahagia bersama Jenia. Maaf aku nggak bisa dateng dan nggak sempet pamitan. Sukses terus ya tang!
Ravensta Ramadhani.

 
     Ups banget! Aku aja lupa kalo dia janji mau ngasih kado. Bener-bener hebat deh ini wanita. Aku baru inget dulu putus sama dia karena aku merasa dia cuma pelarianku dari Arista. Maaf banget ya Hani, aku yang salah. Kamu jadi susah lepas dari aku.
     Sebuah pop up lucu kaya aku, dengan fotoku dan Hani sedang bergandengan tangan di sebuah gambar taman. Aku tau itu taman di perumahannya saat dia tinggal di Jogja. Taman perumahan yang dulu selalu kita pakai untuk berpacaran. Setelah pop up itu ku buka semuanya, muncul tulisan “Love Bintang” di antara foto kita dan gambar taman Oh god, Hani benar-benar belum bisa lepas dariku.
     Aku terduduk lemas, aku sangat merasa bersalah pada Hani. Dia hanya wanita polos yang menjadi korban keegoisanku. Bagaimana cara aku mengembalikan semangatnya lagi? Aku bertanya pada dinding yang dingin.
     Hening.
     “Haniii hani nihanii, terimakasih banyak ya bos. Bagus banget nih kadonya, pantesan aja dulu photo box kita kamu guntingin. Hahaha, ternyata jadinya kaya gini. Ajarin dong.” Aku mengirim pesan lewat bbm kepada Hani, berharap bisa mengembalikan semangatnya yang kini telah pudar.
     Dari status-status yang selalu dipansang olehnya, hanya sedikit sekali yang menyinggung kalau dia bahagia. Terkadang Hani tidak terima karena aku sekarang bersama Jenia, tetapi juga pernah dia menulis kalau dia akan senang dan bahagia jika aku mendapatkan kebahagiaanku walau tidak bersamanya.

***

Siang hari setelah aku menjemput Jenia dari sekolah, Bebi berdering. Handphone kerenku bergetar dan bergoyang mengikuti alunan lagu yang berbunyi Kriiing kring, untung nada dering telfon bukan desahan seperti nada dering bbm.
     “Bintang, maaf ya aku kemarin nggak ada pulsa. Jadi baru bisa bales bbmu sekarang.” Sahut Hani disebrang telfon.
     “Oalaah, kirain lagi sibuk beres-beres barang pindahan. Terus kenapa bales bbmnya malah kamu nelfon?” Jawabku penasaran, lalu aku melanjutkan pertanyaanku. “Eaaaa, mesti pengen denger suaraku ya? Hahahaha ketauan!.”
     “Ahh, apasih kamu nih tang. Kapan kamu main-main ke bandung, ditanyain tuh sama mama. Kata mama selamat ya lulus, 10 besar lagi di sekolah. Jenia beruntung tuh dapet cowok pinter, ganteng lagi.”
     Sindiran Hani langsung ke pokok permasalahan, aku tidak ingin membicarakan ini dengan Hani. Tidak sekarang, aku harap Hani bisa melupakan masalah dulu.
     “Weehh, kok kamu tau e? jangan-jangan kamu juga tau sekarang aku pake boxer warna pink? Hahaha. Halah, kamu juga pernah dapet cowok pinter dan ganteng.” Kataku mencoba mengalihkan perhatian.
     “Taulah, boxermu kan pink semua taanng. Kamu dulu pernah bilang. Pas di rumah juga boxernya pink, tedy bear lagi gambarnya. Parah banget deh kamu, hina. Hahaha. Ha? Siapa cowoknya? Kasih tau dong…”
     “Asem! Kamu masih inget aja! Motif beruang gitu, tapi kamu ya suka we kalo aku pake boxer unyu.”
     Percakapan di telfon siang ini penuh dengan tawa, setiap kali Hani menyinggung soal Jenia, aku mengalihkannya jauh-jauh. Aku benar-benar tidak ingin Hani berfikir jelek tentang Jenia. Perpisahanku dulu dengan Hani sama sekali tidak ada hubungannya denga Jenia.
     Di tengah perbincangan antar kota ini, aku mengingat kejadian dulu saat bersama Hani. Aku mulai suka dengan Hani karena dia adalah adik dari temanku Dodi di sekolah lama. Aku dan Dodi suka tawuran bareng, Dodi sering mengajakku kerumahnya setelah kita asik berkeliling kota mencari musuh. Aku sering melihat Hani dirumah Dodi, ya tentu saja sering, itu juga rumah Hani.
     Walau aku sudah pindah sekolah, aku masih suka ikut geng di sekolah lamaku. Dan otomatis aku langganan numpang ngadem di rumah Dodi. Hani mulai sering mengobrol denganku, sampai aku lupa bahwa pada saat itu aku memiliki Arista.
     Hubunganku dengan Hani bisa dibilang sangat singkat, hanya satu bulan, tetapi itu yang diketahui orang. Aku dan Hani sudah 7 bulan bersama dibalik tabir kenyataan. Putus nyambungku dengan Arista, karena aku mulai bersifat aneh, dan keanehanku terjadi karena Hani. Setelah putus dengan Arista, aku dekat lagi dengan Hani. Kemudian aku berpacaran dengan Rani, saat berpacaran dengan Rani, aku menghilang dari Hani. Kemudian, Hani kembali dekat denganku saat aku berpisah dengan Rani, sampai aku mulai dekat dengan Jenia. Aku tidak merasa selingkuh, karena menurutku lebih baik disudahi lalu punya yang baru, dari pada mulai yang baru sebelum yang lama selesai.

***

     Panas siang ini sangat menyengat di kota Kebumen. Aku, Jenia dan Mamanya sedang berkunjung ke keluarga besar Jenia di Kebumen. Aku merasa bangga bisa diajak dan dikenalkan dikeluarga besar Jenia. Keluarga besar Jenia sangat mudah sekali akrab. Makan duren, makan bakso dan acara makan-makan mendominasi kegiatan siang ini. Bukan makannya yang terpenting, tapi kebersamaan mereka yang sangat aku kagumi. Berada di tengah mereka, serasa berada di tengah keluarga sendiri. Kehangatan keluarga ini sangat terasa, padahal baru pertama kali aku bertemu mereka.
     “Bintang, lagi dimana?” tiba-tiba terlihat bbm dari Hani muncul di layar si Bebi.
     Dengan sigap aku membalas bbm Hani. “Lagi nemenin Jenia di kebumen nih, ada acara keluarga besarnya Jenia.” Dengan polos apa adanya aku menjawab tanpa memikirkan dampak jawabanku.
     “Wah, enaknya bisa akrab.” Balas Hani.
     Ups, dalam hati aku ingin menggantung diri. Kenapa tadi aku bilang begitu, aku harus cepet-cepet ganti topik. “Iya, jadi kangen mamanya Dodi nih. Biasanya bikini sup buah siang-siang gini. Terus makan bareng Hani deh, hehehe.” Jawabku menggoda.
     “Hahaha iya ya, kapan dong main ke Bandung. Oh iya tang, kayaknya deket-deket ini aku mau ke Jogja. Mama mau ada urusan di kantor apa gitu.”
     “Kapann? Wah asik nih! Jangan lupa kabarin beberapa hari sebelum dateng, jangan mendadak ya! Dodi ikut kan?”
     Siang itu, aku yang sedang asik autis dengan BBku mengundang kecurigaan Jenia. Dia merampas Bebi tiba-tiba. Raut muka Jenia berubah drastis, aku tidak tau apa yang Jenia lihat setelah memegang Bebi.
     “Ini apa?!” Tanya Jenia tiba-tiba dengan nada meninggi dan sorot mata yang tajam.
     Melihat ekspresi Jenia yang garang, aku hanya bisa menelan ludah dan mengernyitkan dahi.
     Jenia menyodorkan Bebi dan memperlihatkan fotonya yang sedang memonyongkan bibir dan memasukkan tisu ke dalam hidungnya, foto itu ku ambil saat kita makan di rumahnya beberapa hari lalu.
     “Kamu ngapain simpen fotoku ini zayaang.” Geram Jenia sambil sambil menghapus foto itu.
     “Hahahahaha.”
     Aku hanya terkekeh geli melihat ekspresi wajahnya saat melihat foto hinanya. Untung saja tadi chatku dengan Hani sudah ku hapus, bisikku dalam hati.
     “Hapus aja nggak papa, udah aku copy ke Lepi kok. Hahahahaha, nanti tinggal tak cetak terus di sebarin.” Godaku ke Jenia yang masih tidak menyangka bahwa mukanya sangat menjijikkan.
    
***

     Udara pagi ini sangat segar, aku sedang mengisi waktu pagiku dengan jogging mengitari Alun-alun utara. Dengan Ear Phone yang menancap di telingaku dan tersambung dengan Bebi. Beberapa lagu terdengar, dan membangkitkan semangatku.
     “Sayaaang…” Di tengah alunan musik, aku mendengar suara Jenia yang sepertinya sangat dekat sekali. Aku hanya tersenyum kecil menanggapi suara itu, Jenia memang hebat sekali. Dia selalu menguasai pikiranku, bahkan mulai menguasai telingaku. Baru kemarin pergi ke Kebumen, sekarang udah kangen aja.
     Plak!!
     Tepukan keras mendarat di punggungku, membuyarkan lamunanku tentang Jenia.
     “Makannya kalo denger lagu nggak usah keras-keras, jarak nggak ada 1 meter aja nggak denger kalo dipanggil.” Cerocos Jenia sambil menarik Ear Phoneku. “Nih minum.” Jenia meneruskan cerocosannya sambil memberikan sebotol air mineral dan sebungkus roti.
     “Tumben pagi-pagi udah bangun, dianterin siapa kesini?” Tanyaku dengan senyuman menggoda, sambil menyambar minuman dan roti yang diberikan Jenia.
     “Tadi dianter mas ringgo, nggak ada kerjaan sih. Kamu dibbm juga nggak bales, ya aku telfon ibu. Kata ibu kamu lagi olah raga di sini.” Jawab Jenia sambil menguap dan mengucek matanya.
     Sambil asik melahap Roti, aku mendengarkan Jenia.
     “Mesti kamu belum mandi to.” Sindirku langsung menghujam dengan lirikkan tajam dan hidung yang kembang kempis karena mengendus.
     “Hiiiihhhhhh, kamu nih. Udah disamperin malah nyindir-nyindir. Tak kasih ketek nihh.” Jenia menjewerku dengan gemas berlebihan dan menyodorkan keteknya yang penuh dengan bulu. Hahahhaa, coba bulu itu benar-benar ada. Minta putus aku saat itu juga! Pikirku dalam hati sambil membayangkan bulu ketek Jenia yang menjalar kemana-mana.
     Jenia memang wanita yang sangat hebat, walaupun baru beranjak dua bulan hubunganku dengannya. Dia sudah sangat memperlihatkan keseriusannya dalam mengambil keputusan, dia tau aku adalah lelaki yang memiliki banyak teman wanita dan dekat dengan banyak wanita. Termasuk dengan mantan-mantanku.

***

     Hari ini Hani sampai di Jogja, selama di Jogja Hani tinggal di rumah sahabatnya. Mamanya dan Dodi datang besok lusa, entah mengapa Hani berani datang duluan dan sendirian. Hani memang benar-benar wanita yang sangat mandiri, dia sangat tidak mau merepotkan orang lain. Dulu aja waktu pulang sekolah, kalau mau jemput Hani tuh harus benar-benar mantap rayuannya.
     Aku, Hani dan Devi sahabatnya Hani, sedang makan siang di Kfc dekat mirota tanpa sepengetahuan Jenia. Ngobrol panjang lebar dan cerita tentang masa lalu. Hani tidak jauh berbeda, dia tetap cewek manis dengan senyumannya yang selalu membuat matanya tertup bila tersenyum. Remaja yang seangkatan dengan Jenia ini, hanya singgah beberapa hari, dia akan kembali ke Bandung bila urusan mamanya telah selesai dan dia bisa meneruskan SMA di Bandung.
     Seusai makan siang, aku mengantarkan Hani ke rumah lamanya. Saat pintu rumah dibuka, terlihat masih banyak barang-barang yang belum dipindah. Hani langsung masuk mencari sesuatu di tumpukan bantal-bantal. Beberapa boneka dia acak-acak, dia meraih boneka Elmo merah, sambil tersenyum dia memeluk boneka itu dan melihatku.
     “Aduuhh, elmonya kemarin nggak sempet dibawa. Mama buru-buru sih. Aku nggak ada temen tidur kalo nggak ada elmo.” Ujarnya sambil berjalan mendekatiku dengan senyuman menyebalkann dan kedipan mata menggoda.
     “Wah, kado ulang tahunnya masih ada ternyata. Padahal udah tahun lalu aku ngasihnya. Masih dipeluk-peluk lagi.” Sahutku sambil melihat-lihat foto keluarga yang terpajang di dinding.
     “Kenapa tang? Nggak terima elmonya masih tak peluk-peluk?” bisik Hani tajam.
     Tiba-tiba dia memelukku dari samping.
     Aku kaget dan hanya bisa terpaku.
     “Aku kangen kamu tang, aku sayang kamu tang. Tapi kenapa sekarang kamu harus ada Jenia.” Kata Hani pelan.
     Aku menghela nafas dan hanya bisa terdiam. Aku bingung harus mengatakan apa, Hani sangat rapuh karena permasalahan keluarganya. Aku takut bila perkataanku salah dan malah akan membuat masalah tambah ruwet.
     Pelukan Hani makin erat, boneka elmo yang tadi ada ditangannya, kini tergeletak di sebelah kakiku. Aku bisa merasakan nafasnya yang tersendat-sendat, suara ingusnya yang keluar masuk dan aku juga bisa merasakan bajuku yang basah karena air matanya.
     Aku memeluk Hani dan coba menenangkannya. Gilaakk! Kemarin-kemarin Jenia nangis, sekarang Hani juga nangis. Aku bukan sok gentleman, sok-sok nggak tega liat cewek nangis, sok-sok bisa nenangin. Aku cuma jijik aja liat wanita nangis, idungnya merah tiba-tiba, terus keluar cairan, matanya jadi gede! Warna matanya ikutan merah! Ditengah perubahan itu, mereka berusaha mengucapkan sesuatu dan mereka tidak bisa mengatur nafasnya seperti orang bengek yang mencoba berbicara. Kasian kasian, Bisikku dalam hati.
     “Hani, kamu tu wanita paling mandiri yang pernah ku milikki. Masa kaya gini aja kamu nggak bisa. Kalaupun kita balik lagi, kamu sekarang udah nggak di jogja lagi. Kamu tu anak cheers, masa menggalau sih? Semangatnya mana?” Kataku sambil menghapus air matanya.
     “Iya aku tau, tapi kamu tu yang bener-bener bisa sabar dan bisa bikin aku kangen terus bintang! Aku baru ngerasain bener-bener nyaman sama cowok ya sama kamu, walaupun hubungan kita lebih banyak di balik layarnya. Biasanya cowok-cowokku dulu tu pacarain aku karena mereka mau nyombongin aku doang, mereka sombong kalau punya pacar kaya aku, tapi kamu enggak!” teriaknya sambil meremas tanganku dan terilhat air matanya makin deras, begitu juga dengan ingusnya.
     Terpaku terdiam sambil menggerutu sendiri di dalam hati. Kalo aku nongolin kamu ya dibunuh aku sama temen-temen Arista, mati aku dihujam ibuku, malu aku diketawain temen-temenku. Belum selesai menggerutu, aku kembali berbicara sendiri dalam hati. Kasian banget kamu han, harus ketemu cowok kaya aku.
     “Aku sayang kamu.” Dengan nada datar, ucapan Hani saat itu langsung menusuk ke dadaku. Sorot mata Hani benar-benar menunjukkan kejujurannya. Tiba-tiba sebuah kecupan manis mendarat di kening dan bibirku, kecupan dari boneka Elmo.
     “Elmo pengen banget nyium kamu.” Ujar Hani di tengah tangisannya sambil memegang elmo yang habis menciumku.
     Suasana menjadi hening, pelukan hangat yang mendekatkan kita, kini sudah berakhir. Hanya diam membisu yang menyelimuti ruang kamarnya.
     Aku beranjak dari kasur, menuju mejanya dan berharap bisa menemukan tisu. Tetapi tak semudah itu mencari tisu di meja belajar yang sudah tak pernah dipakai lagi, aku tidak menemukan sehelai tisupun. Saat sedang mencari di meja belajarnya, aku menemukan fotoku terselip di rak buku. Foto yang sudah lama sekali dia ambil dari dompetku, fotoku sedang berlari menangkap ayam, kenapa harus saat aku berpose seperti itu sih. Sejenak aku terkekeh melihat foto jadulku itu.
     Tiba-tiba, Hani menggenggam tanganku dari belakang.
     Jeger!
     “Kamu nyari tisu? Ini aku udah pake, kenapa kamu nggak nyari tisu di tasku aja? Begomu nggak ilang-ilang ya tang. Mana ada tisu di rumah yang udah di tinggal seminggu gini.” Celoteh Hani sambil membersihkan cairan-cairan hidung dan matanya.
     “Hhehehe.” Aku meringis kecil sambil menggaruk-garuk kepalaku.

***

     Suara celotehan teman-teman alumni sekolah lamaku sore ini mulai terdengar saat aku dan Dodi menuju ke tempat tongkrongan dekat sekolah. Setelah mendengar kabar Dodi yang sedang di Jogja, mereka semua langsung berkumpul dan bernostalgia. Apalagi nanti malem kita akan nonton bareng pertandingan MU vs Chealsea.
     “Wueettsseeh, bosnya sudah datang.” Sambutan dari Tomi membangunkanku dari lamunan.
     “Wedyaann! Saha mane teh? Orang sunda nyak? Hahaha.” Tawa anak-anak pecah setelah mendengar Tomi sok berbahasa sunda.
     “Cicing nyak maneteh!” Balas Dodi yang ikut terkekeh mendengar Tomi berbahsa sunda tetapi dengan logat jawa.
     Kami semua bersenda gurau, pelukan hangat menyambut Dodi. Dia memang seorang yang sangat dihargai, selama bertahun-tahun dia membawa geng sekolah ini menjadi dihormati. Tetapi dia harus di keluarkan dari sekolah saat kelas tiga semester dua dan lulus sebagai salah satu pelajar Bandung. Aku dan Dodi pernah merasakan rasanya Introgasi. Tapi Dodi pernah merasakan lebih dari itu, yaitu dinginnya sel.
     Adik-adik kelas yang memang masih stay dari pulang sekolah tadi siang hanya tersenyum dan saling membicarakan Dodi. Mereka sudah mendengar cerita tentang Dodi. Dia memang profesional sekali, sebagai teman dia sangat baik dan akrab. Tetapi jika sudah di jalan saat tawuran pecah, dia menjadi ganas dan tak bisa dihentikan.
     Di tengah gurauan anak-anak, aku mencoba menelfon Satya. Dia pasti senang kalau bisa berkumpul lagi. Tetapi beberapa kali ku coba, hanya wanita dengan suara merdu yang berkata “Maaf, nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar service area.” Suara wanita itu membuatku geram saja.

***

     Saat nonton bareng, aku hanya memegang Bebi karena sedang berbbm ria bersama Jenia dan Hani. Jenia selalu menanyakan kabarku ini itu, jangan lupa begini begitu. Hani juga tidak kalah perhatiannya.
     Di tengah keasikanku bbman dengan Hani, aku berfikir dalam hati. Astaga, aku “melakukannya” lagi. Kemarin aku kemana aja? Kemarin kenapa aku bisa tidak sadar dan malah asik-asikan melakukannya. Jenia gimana?! Aku nggak mau mengecewakan Jenia kaya aku mengecewakan Arista. Aku menjerit dalam hati, jerit… jerit… jerit…
     Lusa, Dodi dan Hani sudah kembali ke asalnya. Beberapa hari yang singkat di sini sudah sangat berharga. Mereka kakak beradik yang paling hebat dalam hal menarik perhatian orang lain. Aku bertekat membuat Hani bisa melupakan aku sedikit demi sedikit, dan ingin membuat hari-hari Hani yang masih sepi karena dia belum mempunyai teman baru di sana menjadi lebih menyenangkan dan berwanra, walau hanya dari sebuah gadget.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar