Kamis, 09 Februari 2012

Bab 4

Chance
      Menikmati masa liburan dengan teman-teman itu memang tak terlupakan dan sangat menyenangkan. Tapi akankah lebih lengkap dan menyenangkannya bila ada wanita pilihannya yang menemani. Menanti pengumuman kelulusan tanpa ada kegiatan, membuat pikiran tidak tenang.

      Aku berharap Jenia bisa menjadi pilihan yang akan membuat hari-hariku menyenangkan dan mengurangi beban yang ada. Pikiran tentang Jenia terus membayangi. Iseng cari-cari Facebooknya, dan aku mendapatkan kenyataan bahwa Jenia masih berpacaran dengan anak SMA bernama Jordi.

      Jeger!


      10-10, yang berarti JJ = Jenia Jordi, aku merasa menjadi lelaki biadab yang merusak hubungan seseorang. Tanpa basa-basi aku mencari kejelasan. Jenia bilang kalau dia dan Jordi sedang dalam masa buruk, dan siapa aku? Aku seorang pelarian kah? Kasian ya Bintang, dan Jenia? Menikmati sekali masa sulitnya dengan Jordi, dan kalau putus, udah siap cadangan.

      Jenia dan Jordi sudah berpacaran 3 bulan, putus nyambung terjadi. Dulu Jordi pernah memutuskan Jenia karena Jordi mengejar seorang wanita impiannya. Tetapi keinginan Jordi tidak tercapai dan Jordi kembali pada Jenia. Itu sih yang dikatakan Jenia kepadaku. Dan sekarang hubungan Jenia dengan Jordi sangat tidak jelas. Jadi Jenia berani memasukkanku dalam kehidupannya. Apakah pilihanku untuk tetap mendekati Jenia ini adalah yang terbaik? Let it flow aja deh, tapi galau. Sumpah galau, masih kepikir hukum timbal balik. Kalau dia bisa kayak gini ke aku, mungkin besoknya dia kayak gini ke orang lain. Tapi udah terlanjur nyaman.


***


      Saat aku dan Jenia sedang asik berkumpul bersama gerombolan Satya, Putri dengan polosnya bertanya tentang pacar ke Jenia. Mendengar pertanyaan Putri, aku langsung mengalihkan pembicaraan mereka, tetapi tidak disangka-sangka, ternyata Jenia mengatakan kalau dia sudah putus dengan Jordi. Saat Jenia mengatakan itu, entah mengapa ada rasa bersalah yang menyelimutiku. Tapi mau gimana lagi, dari cerita Jenia, Jordi memang bukan orang yang patut untuk dipertahankan.

      Jenia tidak pernah menceritakan hubungannya dengan Jordi yang sudah tidak jelas, dia cuma bilang kalau dia sudah putus beberapa minggu.

      Malam itu, mendengar Jenia yang sudah bebas tanpa seorang kekasih, niatku untuk memiliki Jenia semakin menggebu, bak genderang mau perang. Tidak ingin menunda dan menghilangkan kesempatan yang ada, aku merencanakan semua yang perlu disiapkan untuk menciptakan special moment ever bersama Jenia.

      Siang hari sepulang sekolah, Jenia pulang dijemput Arin sahabat SMPnya. Di perempatan pertama, Jenia terlihat kebingungan dengan apa yang terjadi. Seorang wanita mendatangi dan memberikannya bunga yang terbuat dari kertas. Dari sekian banyak pengendara yang ada di perempatan itu, hanya Jenia yang mendapatkannya. Itu yang sangat membuat Jenia kebingungan dan malu.

      Kebingungan Jenia siang itu belum selesai, di perempatan berikutnya. Seorang pengamen memberikan Jenia setangkai bunga kertas yang sama seperti di perempatan sebelumnya. Dan terjadi juga di perempatan terakhir sebelum sampai rumahnya. Kali ini seorang anak kecil memberikannya bunga kerta berwarna merah dan berkata “Ini bunga buat kakak.” Anak itu memberikan bunga kertas yang digenggamnya sambil tersenyum manis kepada Jenia.

      Jenia dan temannya merasa sangat bingung, kenapa di setiap perempatan, Jenia mendapatkan bunga kertas. Kenapa tidak diberi mobil, uang atau motor?

      Setelah berbagai pertanyaan menguasai otak Jenia di sepanjang perjalanan, tiba-tiba Jenia tersadar kalau temannya tidak membawa dia pulang ke rumah. Jenia dibawa ke sebuah tempat yang sudah kita siapkan sedemikian rupa. Jenia terkejut melihat teman-temanku menyambutnya meriah. Kebingungan Jenia sepertinya mulai menemui jalan, raut wajah yang sepanjang jalan terus terlihat berfikir dan bertanya-tanya, kini berubah dengan wajahnya yang memerah. Aku melihat Jenia yang hanya bisa terpaku memegang bunga-bunga kertas yang dia dapatkan. Aku datang membawa bunga kertas berwarna merah terakhir yang bertuliskan I Love You ke hadapan Jenia yang kepalanya tertunduk. Senyum tipis sedikit terlihat melapisi wajah merah Jenia, cubitan kecil tetapi keras langsung mendarat di perutku. Aku terkekeh geli melihat kelakuannya yang sangat polos. Sorak-sorai dari anak-anak membuat suasana sangat bercampur. Beberapa foto candid diambil Satya untuk dokumentasi.

      Semua rencanaku udah lancar jaya, aku merasa jadi orang yang keren dan romantis. Tapi satu rencanaku yang belum sukses, yap! Nembak Jenia! Lidahku kaku! Bibir kering! Jantungku berdebarnya lebay! Tangan keringetan, perut keroncongan, kakiku menginjak tanah, hidungku mulai mengeluarkan cairan, mulutku berbusa, pikiranku makin lebay nggak karuan, plis deh.

      Beberapa detik terpaku dalam keadaan bingung dengan atmosfir sekitar yang ramai karena sorak-sorai dari penonton (baca: Satya CS), langsung berubah menjadi kuburan yang hening. Tanpa ada sedikit kata yang terucap dari bibirku, membuat suasana bertambah tegang. Saat itu aku sudah tidak kuat, ingin sekali aku melambaikan tangan ke arah kamera. Aku tak bisa melakukan apa-apa. Jenia yang masih merunduk kaku, hanya autis memegangi bunga kertasnya.

      Bletak!

      Pukulan kecil mendarat dikepalaku. “Bego! Cepetan ngomong! Keburu garing tuh bunga.” Tegas Cabul yang sudah tidak sabar.

      “Udah Jen! Kamu aja yang nembak Bintang! Hahaha.” Celetuk Momon sambil tertawa.

      Ohh, moment yang tidak pernah ku bayangkan sebelumnya. Terimakasih kepada temanku yang telah memberikan koreografinya, walaupun tidak ada goyangan aneh, alay dan lucu seperti para Boy Band dan Girl Band.

      Di depan anak-anak hina dan sahabat Jenia, aku menawarkan obat-obatan dan majalah, seribu tiga deh. Tapi itu tidak mungkin, lebih tepatnya aku menawarkan diriku untuk menjadi Pacarnya.

      “Jen, aku nggak bilang sayang atau cinta. Tapi aku buktikan kalau aku bisa katakana itu tanpa ucapan, tapi perbuatan. Kamu mau jadi pacarku?”

      Hening.

      Tiba-tiba, Jenia menjatuhkan wajahnya di dadaku, melingkarkan tangannya dan memberikan dekapan hangat. Dia berusaha menutupi wajahnya yang terlihat sangat merah kaya pantat bayi habis pup.

      Sorak-sorai kembali pecah setelah mereka sadar oleh apa yang terjadi.

      “CIE! ROMANTIS! Sini mon, peluk aku!!” Teriak Satya sambil mengejar-ngejar Momon.

      “Suit cetok!”

      “GILAK! KOREA ABIS!”

      “GILAK! BINTANG SOK MASKULIN!”

      “Jeni, masa dipeluk doang bintangnya? Nggak dijawab?” Sahut Agung di tengah sorak-sorai.

      “Oh iya, aku belum diterima kok kamu udah peluk-peluk aja e?” Kataku setengah tertawa sambil membelai rambutnya.

      “Iya ah, aku terima sayaaang.” Jenia melepaskan pelukannya sambil mencubit pipiku dengan ekspresinya yang menggemaskan.

      Thanks for all my best friends, you’re the best! Kalian udah mendukung semua keputusanku dan membatu sampai akhir. Aku cinta kalian teman-teman, ciumm baasssaahh dulu sini! Mmuuaahhh!


***


      Beberapa minggu setelah kebahagian itu, saudara-saudara dari Bandung telah tiba. Mereka datang untuk menghadiri undangan kakaku yang akan menikah di pertengahan bulan ini.

      Hari ini adalah pengumuman kelulusanku, penantianku ini sangat tak terasa. Jenia melengkapi kebahagiaanku di tengah teman-teman dan saudara-saudaraku. Rasa was-was tak pernah menghampiriku, mereka semua selalu membesarkan hatiku, Jenia dan teman-temanku tercinta. Dan malam tadi, tak ada tamu yang datang membawa surat. Itu artinya, tahap pertama kelulusan sudah di tangan. Seragam yang sudah siap ku goreskan tanda tangan telah ku pakai. “Abdi teh borokok! Abdi LULUS EU!” coretan pertama yang di goreskan manusia-manusia bandung ini memicu keramain di seragam putihku yang polos. Tanda tangan Ibu tercinta sudah melengkapi kebahagiaan seragamku. “AKU LULUS BUAT IBU!” satu kalimat yang sudah aku siapkan semenjak aku menginjak kelas akhir di SMA, akhirnya bisa juga ku tuliskan di seragam.

      Setelah seragam siap, saatnya menuju ke rumah pacar. Jenia, manusia spesial yang menggoreskan spidol bertuliskan “Selamat ya sayangku :* semoga sukses terus!” terletak tepat di bawah bet namaku. Kalimat kecil yang membuatku sangat bahagia dan bangga bisa memilikinya. Pelukan hangat dari Jenia membuatku makin bahagia di hari itu dan makin membesarkan hatiku, walaupun aku tidak lulus dari sekolah Favorit. Ucapan selamat dan sedikit candaan dari mama dan kakak Jenia turut melengkapi kebahagianku.

      Setelah bersenang-senang dan berbangga diri bersama Jenia sekeluarga, aku melanjutkan kegembiraanku di sekolah lamaku. Perpisahan yang bahagia yang tak akan terlupakan. Coretan-coretan persahabatan dan kebanggaan setelah melewati masa remaja dan menuju dunia yang baru. Berkonfoi bersama mengelilingi kota, sedikit bermasalah dengan sekolah lain. Tetapi kami tidak memperpanjang masalah kekanak-kanakan itu. Panas bukan halangan kebahagiaan kami. Tak terasa, ini adalah hari terakhir mengenakan seragam sekolah. Merah putih, biru putih dan abu-abu putih telah lewat masanya. Bersiap menuju jenjang yang akan menentukan masa depan. Sebuah dunia baru menanti setelah ini.


***


      Acara pernikahan kakaku tinggal menunggu jam, aku dipercaya sebagai wali nikah. Ijab qobul pagi ini, semua berharap sukses, Jenia sudah siap dan menungguku di depan ruang make up. Bersama keluargaku, aku dan Jenia menuju masjid tempat ijab dilaksanakan.

      Keluargaku dari bandung bertanya-tanya, kemana Arista. Arista Arista dan Arista, yang mereka tau dari kehidupanku terhadap wanita hanya Arista. “Hidup itu berputar, and I never be the same.” Aku cuma bisa berkata seperti itu. Dari raut wajah mereka, terlihat sedikit kekecewaan yang muncul. Tapi aku tidak kecewa dengan keputusan baruku. Aku percaya bahwa Jenia bisa membuatku lebih baik. Karena mereka belum tau banyak tentang Jeniaku.

      Dengan doa dan ucapan penyerahanku. Semua lancar dan sah. Tangis haru dan bahagia pecah saat ketegangan dan tanggung jawabku sebagai wali telah terlaksana. Keluargaku terlihat bangga pagi itu, terutama Ibu. Melihat anak pertamanya telah lancar dinikahkan dan anak terakhirnya telah sukses menikahkan.

      Pandangan mataku langsung menuju ke arah Jenia. Dia terlihat sangat bahagia dan senyumannya membuatku tenang. Di hadapan puluhan orang yang sebagian terlihat tegang dan tidak percaya pada anak yang baru lulus SMA untuk memegang tanggung jawab sebagai wali nikah, aku membuktikan bahwa pandangan mereka salah. Dan segelintir orang termasuk Jenia adalah mereka yang membesarkan hatiku dan memberiku semangat untuk membuktikan bahwa aku bisa.

      Saat penghulu menepuk pundakku dan berkata “Mas, sudah sah. Tangannya bisa dilepas,” aku baru tersadar dari lamunan kebanggaanku. Dan aku juga baru sadar, aku masih dalam posisi bersalaman dengan kakak ipar baruku. Tawa kecil terlihat di wajah penghulu. Aduh sial, jangan sampai tawa kecil itu mewakili pemikirannya kalau aku betah berpegangan tangan dengan kakak iparku.

      Setelah berdoa, mataku yang bergerak mencari gerombolan sahabat tak bisa dibohongi. Gelisah dan bingung makin memuncak karena aku tidak mencium bau para super hero hidupku. Aku memandang Jenia yang mengetahui kalau aku sedang mencari gerombolan manusia tak beradab. Dari bahasa tubuhnya yang bergoyang-goyang menggeliat liar, seperti mengatakan bahwa mereka memang tidak hadir. Ya ampun, untung Jenia hanya bergoyang menggeliat di imajinasiku saja, sangat beruntung dia memberikan kode dengan hanya mengangkat bahu dan menggelengkan kepala.


***


      Resepsi siang itu dipenuhi dengan canda tawa. Para gerombolan tengik sudah memeriahkan hatiku, walau tadi pagi mereka absen. Pegal karena berdiri dan tersenyum tidak terasa karena hadirnya mereka. Kami berfoto-foto hina, dan berfoto-foto ria. Cabul menghilang ditelan antrian makanan, begitu juga dengan momon. Beberapa teman SMA datang, nostalgia dengan mereka jelas tak bisa disembunyikan.

      And woops! She is coming with other friends!

      Terlihat beberapa wanita dengan gaun hitam-hitamnya. Mereka memang selalu kompak. Secara samar-samar aku melihat mereka, jelas sekali kelihatan! Yang lain menggunakan warna ungu dan merah muda sesuai warna undangan, yang ini malah pake hitam, jelas mencolok sekali. Tatapan mata Satya dan Putri yang tiba-tiba melihatku tajam, seakan mengatakan bahwa Arista, Rizka dan teman-temannya telah terlihat di pintu utama. Saat itu juga, raut wajah Satya berubah dan hanya bisa menghela nafas menyambut kehadiran mantan pacar kita. Jenia yang duduk bersama Satya dan Putri, belum tau dengan kehadiran Arista, dia masih asik melahap bakso di tangannya dengan biadab.

      Saat aku melihat Arista menapakkan kakinya di karpet merah bersama mama dan beberapa temannya, waktu seperti menjadi pelan. Suara iringan musik dari group band serasa tak terdengar. Rambut Arista seperti tertiup angin! Udah kaya di film-film romantic coy, tapi sepertinya itu efek asli, karena dia melewati kipas angin pas di pintu masuk.

      Saat slow motion ini berlangsung, tiba-tiba Jenia melihat kearah pandanganku yang sedang asik membayangkan kejadian slow motion. Terlihat raut wajahnya yang shock! Sambil berjalan menuju Arista!

      Jeng-jeng!

      “Sat! itu Jenia ngapain coba nyamperin rista?” Tanyaku pada Satya.

      “Lha aku yo nggak tau, emangnya jeni pernah ketemu Arista?” Jawab Satya.

      “Enggak tuh!” Jawabku sambil melihat Jenia yang ternyata melewati Arista, dia meletakkan mangkuk bakso dan menyambar gelas Fanta, Jenia terlihat hampir mati tersedak bakso.

      “Tak kira jeni mau nabok kepala rista pake mangkok bakso. Bhahahahaha.” Tawaku dan Satya terlepas tiba-tiba dan tak terkendali setelah melihat muka polos Jenia yang sedang asik menegak Fanta.

      “Mas, kamu tu di atas sini. Diliatin banyak orang, malah ketawa-ketawa.” Ibu tiba-tiba menyenggol dan berbisik kepadaku.

      Setelah mendengar bisikan Ibu dan melihat orang-orang yang memandangku karena tawaku yang hina, saat itu juga mulut biadabku tak berkutik dan terasa hening. Tawa Satya terlepas bebas saat melihatku yang tak bisa berkata-kata.

      “Bintang.” Sahut Arista lembut sambil memberikan tangannya.

      Astaga, belum selesai aku menghilangkan malu karena tertawa, tiba-tiba Arista di depanku. Jangan bilang dia lihat kelakuan cacatku tadi.

      “Hehehe, hai ris. Makasih ya udah dateng. Gimana kabarnya? Masih sama Adriel kan?” Basa-basiku membuka pembicaraan dan menjawab sapaan Arista tadi.

      “Iya sama-sama. Baik kok kabarku, kayaknya kabarmu juga baik-baik ya sama Jenia. Iya kok tang masih sama Adriel. Selamat ya udah sukses jadi wali.” Jawabnya dengan senyuman manis yang selalu menghinggapi wajah cantiknya.

      “Waaahhhh, terimakasih banyak tantee udaah datang.” Sahutku kepada mamanya Arista setelah Arista bergeser untuk bersamalam dengan Ibuku.

      “Iya mas, selamat ya udah jadi wali. Tante aja belum pernah lho jadi wali, masih lama nih si Arista. Hahaha.” Sahut mamanya Arista sambil menepuk-nepuk pundakku.

      “Ah tante bisa aja, saya sudah jadi wali, nah besok tinggal nikahnya. Yaaahh tapi nggak jadi deh sama anak tante. Hahahahahahahaha.” Bercanda cacatku keluar. Aku melihat Arista yang melirik tajam karena mendengar pembicaraanku dengan mamanya.

      “Hahahahahahaha.” Sambil tertawa, mama Arista pergi meninggalkanku.

      Sial banget sumpah, cuma ketawa terus ninggalin. Kebiasaan aneh tante masih aja nggak berubah ternyata.

      Oh iya! Aku lupa, dimana pacarku berada. Dasar tuh anak, kalau ada makanan berserakan pasti hilang. Aku minta tolong Satya untuk mencarinya, karena kita akan berfoto bersama teman-teman dan Arista juga.


***


      Semua teman-temanku sudah berkumpul dan siap untuk berfoto.

      Dengan khasnya mereka yang begajulan, foto-foto di atas panggung siang itu sangat susah diatur dan pasti akan penuh kenangan.

      Setelah sesi foto bersama mereka selesai, aku baru sadar kalau Jenia berada jauh di ujung sana. Ya ampun itu anak, nggak mau deket-deket pas sesi foto. Yang berada di sebelahku dan menggandeng tanganku adalah Rizka kemudian di sebelahnya ada Arista. Oh, poor Jenia. Kamu, Satya dan Putri tersudut di ujung barisan. Cabul dan Momon duduk dibawah tepat di kakiku.

      Ingin sekali aku mengulang sesi foto itu, tapi apa dayaku, tamu lain sudah menunggu untuk bersalaman dan terlihat dari tatapan mereka yang sudah kelaparan, bisa dibakar aku kalo foto-foto lagi.

      Saat tamu terlihat renggang, aku turun dan mengajak ngobrol teman-teman yang sudah datang, termasuk Arista. Berfoto-foto ria, mengobrol dan menikmati jajanan yang ada. Merencanakan perkuliahan dan berbincang banyak hal. Tidak lupa aku mengenalkan Jenia kepada Arista. Setelah perkenalan singkat itu, aku malah ditinggal mereka mengobrol, ealaaahhhhh…. Dasar, wanita.


***


      Aku percaya bahwa pilihanku ini tepat dan aku percaya bahwa Jenia bukanlah pelarianku dari Arista. Banyak moment-moment menyenangkan yang ku lalui bersama Jenia. Dan saat-saat menyenangkan yang ku lalui bersama Jenia, harus di hadapkan dengan pilihan yang susah. Jatah liburan sudah mulai menipis, dan itu artinya aku harus cepat menentukan pilihan untuk memasuki dunia perkuliahan. Aku dan Satya sudah siap mengikuti tes yang ditawarkan oleh orang tua Satya. Tetapi, tentu saja jika aku memilih masa depanku di Sekolah itu, aku harus meninggalkan Jenia karena harus tinggal di asrama. Aku mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk mengatakan keputusanku kepada Jenia. Setelah panjang berfikir selama beberapa hari, akhirnya aku menemukan kata yang paling tepat, yaitu “Sayang, aku kuliah di Bandung ya. Di sekolah tinggi pendidikan negara. Besok kamis aku pergi ke Kalimantan buat ngasih berkas, terus tes. Habis itu tinggal kemas barang terus pindah deh.” Kalimat ijin kepada pacar yang sepertinya tanpa dosa dan apa adanya.

      Hari itu juga aku mengungkapkan kalimat yang sudah aku siapkan. Seperti yang sudah aku duga, setelah kalimat sakralku terucap, Jenia hanya terdiam. Suasana menjadi hening.

      Krik… krik… krik…

      Mimik muka jenia berubah secara tiba-tiba, matanya yang bulat langsung memerah, hidungnya yang mancung juga ikut memerah dan mulai mengeluarkan cairan, bibir lucunya yang datar, tiba-tiba tertekuk. Dia mencoba berbicara dengan tersedak-sedak. Dengan nafasnya yang tidak teratur, dia terus mencoba untuk berbicara. Itu saat yang paling tidak bisa aku selesaikan, aku bingung harus berkata apa. Saat aku dilanda kebingungan, Jenia masih mencoba untuk berbicara. Tapi dari tadi Jenia mencoba, hanya huruf sss aaa yyy aaa nnn ggg yang terdengar. Cuma mau ngomong sayang aja kok susah banget sih ini wanita.

      Bingung melihat kelakuannya, aku memberikan pelukan hangatku yang sedikit menenagkan pikirannya. Aku mencoba membuatnya tegar, bahwa ini untuk masa depanku. Masih terdengar tangisan dan suara ingusnya. Aku peluk Jenia makin erat, makin keras tangisannya, aku eratkan lagi pelukanku, dia makin histeris, semakin lagi aku eratkan, kemudian dia berteriak “Saaayaang! Aku nggak bisa nafaaasss dodol!” Aku kaget dan melepaskan pelukanku sambil tertawa. Aku bingung, sebenarnya ini yang bego siapa sih.

      Setelah beberapa jam Jenia menangis, akhirnya dia berani melepaskanku. Dengan senyuman yang terpaksa, dan air mata yang mengalir dengan baidab. Dia memberiku sebuah kecupan mesra di pipiku, terasa sangat basah sekali, entah itu bibirnya sudah bercampur dengan cairan apa saja setelah menangis berjam-jam. Muka Jenia sudah seperti pantat bayi habis ditabok, bukan pantat bayi habis pup. berwana pink-pink merah dan lembab karena air mata dan ingus.

      Hand Phone canggih ku (sebut saja Bebi) bergetar, keren sekali coy! Ini benda bisa bergetar dan ada tulisannya “Satya memanggil.”

      Aku berbicara dengan Satya panjang lebar dengan berbagai ekspresi.

      Setelah menutup telfon dari Satya, Jenia bertanya apa yang aku dan Satya bicarakan. Satya bilang, kalau besok tiket pesawatnya dipesan, jam 9 pagi aku berangkat dari Jogja dan bertemu dengan Satya di Bandara Soekarno Hatta, kemudian sorenya langsung ke Kalimantan.

      Pelukan Jenia tadi siang sangat membuatku bimbang, tangisannya yang sangat nyata makin menggetarkan pilihanku. Aku hanya termenung di teras rumah. Ibu juga agak berat untuk melepasku ke sekolah itu, aku berfikir ulang berkali-kali. Keputusanku sangat memberatkan untuk tidak pergi. Jenia benar-benar bisa merubah semua keputusanku untuk masa depanku. Tiba-tiba telfon dari Satya kembali masuk. Dari sebrang telfon, suara Satya terdengar lirih karena masih bimbang untuk meneruskan sekolahnya di situ. Selama beberapa menit berdiskusi lewat telfon, akhirnya kita memutuskan untuk tidak meneruskan sekolah di Bandung. Kita masih ingin bebas dan tidak ingin ditekan di suatu tempat karena suatu alasan apapun. Aku juga berfikir untuk tidak meninggalkan Jenia dan bertanggung jawab karena telah memasuki kehidupannya.

      Karena keputusanku dan Satya sangat bulat untutk tidak melanjutkan di sekolah itu, kita coba menikmati hidup dan kebebasan kita. Walaupun masih dalam penyesalan karena mungkin masa depan yang sangat cemerlang sebagai pegawai negri kelas atas tidak bisa didapatkan.

      Aku harap ini bukan keputusan yang salah karena aku sangat mengedepankan Jenia yang tidak ingin ditinggal. Aku sayang dia dan aku tau dia juga. Semoga Jenia bisa menghidupkan cerita matiku dan memberikan aroma yang baru dan segar. Semoga pilihanku adalah yang terbaik.

      Karena liburan semakin menipis, itu menandakan bahwa pendaftaran mahasiswa baru juga akan tutup. Aku mulai kesana-kesini mencari kampus yang tepat untuk masa depanku dan layak menerima maba biadab satu ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar