Friendship is Beautiful
“BINTANG!” Teriakan Bowo di
pagi hari membangunkanku yang sedang tergeletak mangap ngileran di balkon.
Sambil mengucek-ngucek mata dan
membersihkan air liur yang membiadab kemana-mana, aku bertanya pada Bowo. “Ada
apasih ganteng? Berisik amat deh. Aduhh setan, badanku pegel semua, sumpah
nggak enak banget tidur di sini.” Aku menggerutu sambil memijat-mijat badan.
“Heh bego! Ini udah jam lima pagi,
anak-anak tadi nelfon kamu, tapi nggak diangkat. Nih mereka pada ngrecokin aku
pagi-pagi, tanya alamat. Katanya mereka udah sampe jam setengah lima! Aku nggak
donk alamat rumah ini.” Tandas Bowo histeris.
“Wah! Anjrit aku lupa, Bebi dimana?! Mana
si Bebi??” Aku kelabakan mencari Bebi.
“Ck… ck… ck… Dasar Bintang cacat, itu di
kantongmu. Dari sini aja keliatan kok.”
Decaknya dengan muka datar sambil nunjuk ke kantongku.
Aku langsung meraih Bebi dari dalam
kantongku dan menelfon Satya, karena cuma Satya yang satu provider. Jadinya
murah deh.
Setelah tersambung, aku langsung
menjelaskan alamat Hedot dan ongkos taksi yang biasa dibayar jika dari stasiun
ke rumah Hedot.
Liburan sendiri memang tidak menyenangkan,
tetapi hari ini aku akan bersukaria bersama anak-anak gila! Mereka akan
menginap di Lembang selama tinggal di sini. Mungkin ini akan menjadi liburan
terakhirku bersama mereka, mungkin kami tidak akan lagi sering bersama-sama
lagi seperti dulu. Kami akan mempunyai dunia yang baru dan kesibukan yang baru.
Teman baru, kebiasaan baru, pacar baru. Apakah kita siap akan perubahan ini?
Semoga kita semua sudah dewasa untuk menerima perubahan ini, tidak akan ada
perang dingin karena merasa dilupakan dan tidak lagi diutamakan.
***
Semua terlihat sangat kelelahan, tetapi
canda ringan tetap terdengar. Tawa selalu pecah jika bersama mereka, lama-lama
bisa mecahin rekor muri ketawa nih. Perjalanan yang jauh menuju Lembang dengan
taksi, tidak terasa karena kebersamaan yang erat.
Taksi yang berbentuk sedan dengan kapasitas
penumpang 4 orang, kami sulap menjadi taksi sadis yang berisi 6 orang. Jalanan
yang berliku dan penuh tanjakan, memaksa kami untuk berhenti karena Momon sudah
tidak tahan dengan mual, dia harus mengeluarkan isi perutnya.
Karena perjalanan yang lama, dan perubahan
suhu yang drastis, setibanya di rumah, Momon langsung menuju kamar dan tidur di
balik hangatnya selimut. Satya, Cabul, Agung dan Ntut di sambut dengan hangatnya
teh manis dan senyuman seksi dari balik kumisnya Engking. Pagi itu kami
habiskan dengan guyonan ringan dan makan pagi. Di tengah suasana itu, Satya
memberikanku sebuah jaket yang dititipkan oleh Jenia. Aku lupa membawa jaket
itu saat berpamitan dengannya sebelum berangkat. Jenia memang wanita yang
sangat baik dan perhatian, bagaimana perasaan dia jika tau hubunganku dengan
Hani. Semoga saja itu tidak terjadi.
Sedikit mengobrol bersama di ruang tamu,
Engking kumis senang sekali teman-temanku bisa berkunjung ke rumahnya. Saat
pernikahan kakakku dulu, Engking kumis sudah mengajak mereka untuk main-main ke
Bandung. Dan hari ini, ajakan itu sudah terpenuhi.
Sedang asik mengobrol, tiba-tiba tantangan
dari mulutku terlontar setelah melihat bahasa tubuh mereka yang menggigil
kedinginan. Mereka ku tantang untuk mandi, walaupun sekarang sudah jam 10 pagi,
tetapi suhu di sini sangat nggak nyantai. Menapakkan kaki tanpa sandal atau
kaos kaki di lantai saja, rasanya seperti menapakkan kaki di atas balok es. Hehy!
Rupanya Satya menerima tantanganku, dia langsung menuju kamar mandi dengan muka
kerennya. Aku hanya ternganga melihatnya, sedangkan Cabul, Agung dan Ntut
bersorak dan menggelengkan kepala. Aku aja yang sudah sering tinggal disini,
jarang sekali mandi.
“Jegreg…”
Baru terdengar Satya menutup pintu bebrapa
detik, sudah terdengar lagi suara pintu terbuka.
“Jegreg… (lagi)”
”Asem i! Dingin banget! Nggak jadi aku,
mending ngerokok sambil minum teh ajalah di depan,” katanya sambil menggigil
dan kembali duduk.
Kami semua terkekeh geli melihat kelakuan
Satya, sok keren banget berani mandi, baru juga masuk kamar mandi beberapa
detik, udah balik lagi.
“Halaahh! Aku tau tang pikiranmu, mesti
kamu bilang aku sok keren banget berani mandi… sempak, dinginnya lebay! sumpah.”
Sahut Satya.
Ditengah asiknya meledek Satya, mbak Anggi
memangilku. Dia adalah kakak sepupuku paling tua, dia sudah mempunyai satu
anak, suaminya bekerja di luar negri. Dia mengatakan kalau aku diterima di
Universitas Islam Bandung. Ternyata ibu mengirimkan semua hasil rapot, nilai-nilai
dan fotokopi ijazahku, Ibu takut jika aku jadi masuk ke sekolah tinggi negara.
Aku diterima di jurusan Komunikasi Universitas itu karena nilai rapot yang
meningkat dan rangking yang bagus di akhir semester, ditambah lagi dengan foto
kopi sertifikat juara satu lomba penyiar radio antar SMA se-Jogja dan Jateng.
Itu adalah sertifikat yang aku dapatkan saat menjadi penyiar radio di SMAku
yang lama, karena SMAku dulu memiliki stasiun radio kecil sendiri. Tanpa
berfikir panjang, aku menolak tawaran itu. Aku sudah fokus untuk tidak
meninggalkan Jenia, dan aku masih bahagia di Jogja.
***
Liburan kemarin bersama teman-teman yang
menggila memang sangat menyenangkan, liburan yang menutup masa SMA kami dan
semoga bukan liburan terakhir kami. Liburan bersama mereka tidak bisa
diungkapkan dengan kata-kata, kami melakukan banyak hal bersama-sama. Kami
bermain ke peternakan sapi, menaiki kuda, melihat indahnya peneropongan bintang
Boscha, berburu baju Distro, menjajal tempat nongkrong di Bandung, menonton
konser Band Indie di salah satu mall,
dan banyak lagi kegilaan yang kita lakukan bersama. Tapi, kegiatan yang paling
gila adalah saat kita sibuk menggunakan Blackberry
kita untuk membuka GPS dan mencari jalan. Kami serasa berpetualang bersama
mengelilingi kota Bandung, padahal aku sendiri juga sangat tidak mengenali
jalan-jalan yang aku tunjukkan.
Di hari terakhir sebelum pulang ke Jogja,
aku menemukan suatu toko yang khusus untuk suatu perayaan pesta. Aku ingat
bahwa ulang tahun Jenia tinggal sebentar lagi, aku mampir ke tokok itu untuk membeli
bebrapa peralatan pesta yang aku tidak tau namanya, intinya peralatan itu untuk
menyemprotkan busa berwarna putih, keren sekali coy. Ada juga alat yang jika
dibuka akan melontarkan kertas warna-warni, dan ada beberapa peralatan lain
yang aku juga tidak tau namanya.
Besok Malam kami siap meninggalkan tempat
liburan kami, berpisah meninggalkan keluarga kecilku yang berada di perumahan
Graha Puspa Lembang. Segarnya udara pagi di sana, sangat memanjakan kami untuk
terus bernafas. Dinginnya udara pagi di sana, sangat memanjakan kami untuk
kembali tertidur. Harumnya masakan Enin, sangat memanjakan kami untuk menyantap
habis. Dan kebersamaan kami rasakan, sangat memanjakan kami untuk kembali
menjadikan Ntut sebagai bahan tertawaan karena giginya yang poel di bagian
depan.
Saat sinar matahari menembus jendela kamar,
harumnya wangi teh hangat sudah membelai hidungku yang pesek nan imut.
Suara-suara sunda yang sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing, membuatku
terbangun. Mencicipi segarnya teh hangat buatan Ibu di pagi ini, membuat mataku
segar, ternyata bukan hangat, tapi panas! Itu yang bikin mataku nggak bisa
merem lagi, aku sibuk dengan lidahku yang kepanasan. Melihat 4 temanku yang
masih tertidur dalam posisi menjijikkan, Ntut dan Satya saling berhadapan wajah
dengan jarak yang sangat dekat, sedangkan Agung masih tertidur pulas dengan
mulut yang terbuka lebar, cabul terlihat
ganteng dari balik selimut. Bentuk mereka membuatku tidak bisa menolak untuk
mengabadikannya, dengan sigap aku mengambil DSLR dari tas dan… selamat melihat
muka kalian di facebook ya
kawan-kawan. Hahahahahaha, aku tertawa licik setelah melihat hasil jepretanku
yang berjudul skandal remaja.
Setelah semua barang sudah dikemas, badan
sudah pada wangi. Kami siap untuk berpamitan dengan keluarga kakak dari Ibuku
dan berpamitan juga dengan Ibuku. Berfoto-foto bersama sebelum meninggalkan
mereka untuk menambah urutan kenangan kami.
Kereta dijadwalkan berangkat nanti jam 4
sore. Kami berangkat dari Lembang pagi hari karena ingin menjamahi lagi
Distro-distro di Bandung. Beberapa jam kami kesana kemari, belanja ini itu dan
asik menyantap menu makanan di Café dekat situ. Milo Dinosaurus Panas, menu
yang terasa sangat menggiurkan saat hujan-hujan begini.
Setelah puas berbelanja, kami menaiki
angkot tujuan stasiun. Menikmati pemandangan kota Bandung yang mulai padat.
Saat berjalan memasuki stasiun, aku bertemu dua wanita yang berteriak kaget
setelah melihat kami. Tika dan Cindy, mereka adalah temanku, teman Satya dan juga
Agung di SMA lamaku. Secara kebetulan kami bisa bertemu di stasiun. Dan yang
seru lagi, Tika adalah mantannya Agung waktu kelas satu SMA. Haha, lucu sekali,
tapi biasa aja sih. Ternyata tidak cuma Jogja yang sempit, Bandung juga sempit
ya. Tetapi sayang, TIka dan Cindy tidak satu kereta, mereka menggunakan kereta
Eksekutif yang berangkat beberapa menit lagi.
Sudah setengah jam kami menunggu di
stasiun, kereta Malabar jurusan Madiun siap diberangkatkan. Aku dan yang lain
bergegas mencari temapat duduk yang nyaman. Sedang asiknya mengobrol dan saling
memperlihatkan barang belanjaan, tiba-tiba si Bebi mendesah. Aku menerima pesan
dari kakak sepupuku kalau ada sebuah kunci motor Honda dengan gantungan tali
bertuliskan Machbet tergantung di kursi tamu
Jeger!
Satya histeris! Itu kunci miliknya. Dengan pasrah
kami hanya melihat ke luar jendela yang pemandangannya mulai berganti menjadi
hutan dan sawah-sawah. Menandakan kami sudah meninggalkan kota Bandung.
***
Tengah malam kami sampai di Jogja, Satya
dan Cabul bergegas menuju parkiran untuk mengambil kunci serepnya. Malam yang
panjang untuk empat orang pemuda yang harus terlantar di emperan stasiun pada
tengah malam. Yap! Ntut dan agung asik-asik berfoto, aku dan Momon asik-asik
melanjutkan tidur di tangga Stasiun.
Pencerahan terlihat, yaaa itu sangat cerah
dan silau! Satya datang dengan mobilnya dan menyorotkan lampu sialan ke arahku
yang sedang asik membiadabi tangga Stasiun. Lalu kami bergegas menjamahi rumah
masing-masing.
Tidak terasa, sudah seharian kami beristirahat
di rumah masing-masing. Karena hari sudah menjelang sore, ini berarti saatnya
kami untuk kembali menghabiskan waktu dengan nongkrong dan bercanda, aku
langsung bergegas mandi. Tidak lupa aku mengirim pesan untuk Satya, aku
menunggunya di Pura Game Center. Kemudian mengirim pesan untuk Cabul, Momon dan
Putri malam ini kita akan membiadab dimana?
Setelah mandi segar, aku mengeluarkan Betty,
aku hampir lupa kalau sebelum pulang ke Jogja, aku membeli beberapa oleh-oleh.
Aku membawa tiga kotak Bolen, satu kotak untuk Jenia, satu kotak untuk Dara dan
satu kotak lagi untuk Rizka. Sebelum aku menyatukan pantatku dengan Joknya
Betty, aku mengirim pesan lagi untuk Satya yang belum juga membalas pesanku
tadi, sepertinya dia masih asik bercinta dengan guling dan bantalnya. Aku
memberi tau kepadanya kalau tidak jadi ke Pura, aku mau mengantarkan oleh-oleh
terlebih dahulu, dan pasti akan sangat lama jika sudah bertemu dengan tiga
wanita ini.
Aku melanjutkan kegiatanku dengan Betty
yang tidak melaju kencang menuju rumah Rizka. Hanya butuh beberapa menit, aku
sudah sampai di rumahnya. Aku memberikan oleh-oleh ini dan berbisik menyelipkan
kalimat “Dapet salam dari Satya.” Dengan gerakan yang sangat cepat, Rizka
menjambakku, “aww” begitulah Rizka. Kami bercanda dan mengobrol, tetntu tidak
lupa juga sedikit curhat.
Satu jam lebih sangat tidak terasa,
sekarang saatnya aku menuju rumah Dara yang sudah lama aku tidak mengtahui
kabarnya. Sebelum hari gelap, aku dan Betty buru-buru menuju ke rumah Dara,
tetapi tetap melaju dengan tidak kencang.
Dara menyambutku dengan tawa cacatnya,
terlihat mukanya yang merindukan sosok keren dan maskulinku. Tiba-tiba Dara
menjambakku dan dia bilang kalau tidak usah bilang sosok keren dan maskulin,
wah Dara hebat sekali, dia bisa mengerti kalau aku ingin sekali mengatakan itu
dalam sebuah tulisan.
Di sela-sela obrolan kami, Dara menyelipkan
curhatannya. Dia menceritakan ini itu tentang Noval dan beberapa masalah dengan
teman-temannya. Aku suka sekali saat Dara mengeluarkan semua unek-uneknya. Aku
jadi merasa seperti menggunakan kacamata dengan rambut yang berwarna norak,
kemudian aku menghipnotis Dara dan membuatnya mengeluarkan unek-unek, lalu aku
berkata ”Jangan kemana-mana, anda masih di Bintang memang Bintang!” hahaha aku
tertawa gila.
Aku senang sekali bisa mendengar Dara
sedikit membagi bebannya, dia tau aku berotot dan maskulin yang terlihat kuat
untuk membawakan beban-beban hidupnya, terlihat sekali setelah dia bercerita
semua masalahnya, dia menjadi lebih ringan. Padahal dia wanita yang tidak bisa
dibilang kurus, apalagi ringan. Anda benar! Dara lumayan gendut, dia suka
sekali dipanggil Rizka dengan sebutan montok.
Sedang asiknya berceloteh ria, desahan Bebi
terdengar karena pesan dari Putri masuk, yang mengatakan bahwa mereka siap
cabut satu jam lagi. Aku membalas pesan Putri kalau aku ke rumah Jenia dulu
untuk mengantarkan oleh-oleh. Setelah itu, aku buru-buru brekemas dan
membereskan air liurku yang tercecer di ruang tamu karena tertawa tadi.
Kemudian aku berpamitan pada kak Gita yang sedang asik menemani Citra menonton…
Barney! Yup! Dinosaurus ungu nan lucu ini menghipnotis kak Gita yang ikut
antusias menyanyikan lagu “Sing a Song”
dengan gembira dan penuh gerakan suka cita, dia terlihat sangat kegirangan.
Aku dan Betty melaju tidak kencang,
tujuanku sekarang adalah rumah Jenia. Aku sudah tidak sabar ingin bertemu
dengannya. Melihat wajahnya dan senyuman manisnya, menikmati secangkir Milo ala
Jenia yang manis, mengobrol panjang lebar dengannya dan menerima ejekannya
tentang hidung pesekku, aku juga tidak sabar memukulnya dengan linggis, haha.
Alunan musik Just the Way You Are – Bruno
Mars feat Charisma Bintang menemani
perjalanan tidak kencangku dengan Betty.
Jenia membuka pintu dan menyambutku dengan
senyuman, sebuah pelukan dan sebuah kecupan manis di pipiku, untuk bukan
pukulan linggis yang menyambutku. Dia terlihat berbeda sekali, walaupun hanya
dengan kaos seadanya dan celana pendek, dia terlihat manis, sangat manis. Bolen
dari bandung yang ada di tanganku jelas kalah manisnya kemudian langsung ku
berikan pada mamanya yang sedang sibuk bermain dengan Blackberrynya. Mama jenia sangat suka sekali Bolen Cokelat Pisang yang
aku bawa.
Bersama Jenia, waktu benar-benar terasa sangat
cepat dan tidak bisa dihentikan. Walaupun tidak bersama Jenia, waktu memang tidak
akan bisa dihentikan. Alunan lagu Bruno Mars tanpa feat
Charisma Bintang – Just the way you
are menemaniku menggombal Jenia. Semua dari Jenia adalah “sesuatu” yang
sangat indah, Alhamdulillah yah. Matanya yang begitu bulat, hidungnya yang
mancung dan bibirnya yang manis, membuatku susah untuk berkedip. Sifat manjanya
membuatku selalu ingin ada saat dia membutuhkanku, secangkir Milo hangat ala
Jenia membuat malam ini sangat lengkap.
Bebi bergetar beberapa kali, terlihat pesan
dari Putri masuk. Aku tak menghiraukan kalau Putri, Cabul, Momon dan Satya
tengah Menungguku di tempat yang sudah ditentukan.
Jenia meraih Bebi yang sedang asik
memainkan lagu-lagu Bruno Mars. Raut wajah berserinya berubah, datar tanpa
ekspresi kemudian dia meletakkan Bebi kembali. Sepertinya aku tau apa yang
telah dia lihat, aku lupa menghapus percakapanku dengan Hani.
“Kamu ada hubungan lagi sama Hani?” tanya
Jenia datar.
“Mmmm, iya. Kemarin pas dia di Jogja aku
ketemu dia. Sekalian ketemu Dido.”
Dengan kikuk aku menjawab pertanyaan Jenia
dan mencoba untuk menenangkannya sebisaku, tapi sepertinya susah. Yang aku
takutkan benar-benar terjadi.
Jeger!
“Oh, terus kemarin pas di Bandung ketemu?
Kamu masih sayang sama Hani?” Jenia bertanya langsung tanpa basa-basi.
“Enggak, di Bandung nggak ketemu. Cuma
bbman aja. Mungkin aku masih sayang sama Hani, tapi aku cuma mau bikin dia
semangat lagi.” Aku menjawab sambil meneguk Milo hangat ala Jenia, glek.
“Yaudah, keputusanmu terserah kamu. Itu
temen-temenmu udah nunggu. Ntar mereka marah kalo kamu lebih mentingin aku dari
pada mereka yang udah nungguin kamu.” Kata jenia dengan nada yang meninggi.
“Enggak papa, sekali-sekali aku nggak ikut
mereka nongkrong.” Aku meletakan Milo yang tadi ku teguk dan memegang tangan
Jenia yang terlihat makin jengkel. “Iya aku jujur aku ada hubungan sama Hani,
aku cuma coba buat dia semangat lagi. Kamu kenal dia, kamu tau dia, aku nggak
mau sembunyi-sembunyi dan kamu tau alasanku.”
“Iya-iya, terserah kamulah. Udah sekarang
kamu nyusul temen-temenmu aja sana, kan enak di sana. Bisa ngerokok terus, bisa
bbman sama Hani juga.” Gerutu Jenia.
“Maaf ya sayang.”
“Iya!.” Jawab Jenia ketus.
Aku tau Jenia tidak bisa membendung air
matanya, pertanyaanku malam itu di rumah Hedot belum ada jawabannya. Tapi kini
aku harus menjawab sendiri pertanyaanku, dan jawabannya adalaha aku harus
menysukuri apa yang aku miliki sekarang, Jenia. Dan aku harus menjaga Jenia.
Di sela-sela pertengkaran, aku memberitahu
Jenia berita dari mbak Anggi saat kemarin di Bandung. Seketika, air mata Jenia
tak terbendung. Aku sudah menduga, karena Jenia pernah bilang kalau dia sudah
lelah untuk mencari pacar lagi. Dengan senyuman, aku memeluknya dan mengatakan
bahwa aku tidak menerima tawaran itu, walaupun sudah dibebaskan dari biaya
pendaftaran. Karena aku juga tidak sanggup meninggalkannya, ya.. aku
benar-benar tidak bisa meninggalkannya.
“Aku nggak bisa LDR.” Seru Jenia di tengah
tangisannya.
Untung aku sudah pernah membaca novelnya
Raditya Dika, dan aku sudah tau apa itu LDR, jadi aku tidak harus mencari di
internet ataupun berfikir kalau arti dari LDR adalah Long Dick blablabla. Hahaha.
“Iya sayang, aku milih kamu. Aku juga nggak
bisa harus pergi jauh dan lama dari kamu.” Bisikku lembut walaupun suaraku
tidak seksi.
Pertengkaran malam itu ditutup dengan
tangis dari Jenia dan tekad yang bulat dariku untuk selalu memberi yang terbaik
kepada Jenia, trust me! It works.
***
Malam ini aku dan Satya sedang menikmati
kembali waktu kami berdua, setelah berjam-jam kami asik main game, kami
melakukan kebiasan intim kami jika sudah berduaan saat dini hari, yaitu
merenung dan mengoreksi diri di sebuah warung burjo dekat rumah Satya.
“Tang, jadinya kamu masuk mana?” Tanya
Satya memecah heningnya malam.
“Udah ngelepas dua kesempatan, aku milih di
Jogja aja, UMY Komunikasi udah keterima sih, tapi mahal uang gedung.” Jawabku
sambil menyalakan rokok.
“Halahh, ati-ati aja tang. Kamu korbanin
masa depanmu, nanti kamu sendiri yang kena. Jangan asal milih, sebelum
terlambat.”
“Aku tetep sama pendirianku kok, santai
bray. Terus kamu akhirnya dimasukin di mana sama om Putra?”
“Kemarin sih bapaku ke Jakarta, masukin
berkas-berkasku ke UI. Mau dimasukin di jurusan Manajemen Bisnis gitu.” Ujarnya
sambil menatap langit, terlihat pandangannya yang belum ikhlas meninggalkan
kota ini dan teman-temannya.
“Anjrit! Kamu pindah Jakarta donk?” sontak
aku kaget mendengarnya. “Wahh! Nggak ada pilihan lain po?”
“Enggak tang, aku udah wajib dimasukin
situ. Aku juga nggak mau ninggalin kalian, tapi mau gimana lagi. Aku terlalu
banyak hutang budi sama mereka, sekarang mungkin saatnya buat sedikit membalas hutang
budi itu dengan mengikuti kemauannya mereka.”
“Ah sumpah ya, nggak asik gilak! Nggak ada
anak yang nemenin aku main game lagi, nggak ada yang bagi aku rokok lagi, nggak
ada yang kasurnya tak tidurin lagi, nggak ada temen curhat antar lelaki ganteng
lagi, nggak ada si hidung besar lagi.”
“Santai lah tang, kamu enak tau. Di sini
masih ada Cabul, Momon, Putri, Agung, Ntut, Bowo, Sanang dan anak-anak yang
lain. Kamu kan anak eksis tang, banyak lagi kimcilnya.” Sindir Satya sambil
melirik tajam ke arahku. “Sekarang kamu juga ada Jenia, seneng deh aku liatnya.
Jenia udah bikin kamu jadi orang yang konsisten dan nggak nggodain cewek-cewek
lagi.
“Hahahaha, preketek lah Sat. Baru juga beberapa
minggu lalu aku berduaan sama Hani.”
Belum selesai aku tertawa, Satya langsung
memukul kepalaku. “Wo goblok! Udah sih, anak orang. Mereka punya hati, bukan
kaos kaki yang pake ganti pake ganti.”
“Aihh, sakit nih pala. Iye iye aku tau,
tapi gimana lagi Sat, posisinya menggoda sekali sumpah. Berduaan, dia nyium
pipiku yang deket banget sama bibir, taassss! Kena dah.” Sambil memegangi
kepala yang mau benjol, aku bercerita penuh suka cita dengan mata yang berbinar.
“Iya sih, kalo aku jadi kamu dengan posisi
kaya gitu, apalagi sama adeknya Dido! Wah, nggak ada cowo yang bisa nolak
kesempatan itu deh. Coba kamu nggak pake kawat tang, paling sekarang gigimu
masih mrongos dan nggak bakal aku akuin kalo kamu “sedikit” lebih ganteng dari
aku. SEDIKIT! Camkan itu.” Tandas Satya sambil memperlihatkan tangannya yang
menunjukkan jari kelingkingnya.
“Hahaha, santai lho bung. Sumpah, aku kaya
ciuman sama Dido. Mereka mukanya mirip banget. Cuma beda rambutnya doang, geli
sendiri aku kalo tau-tau pas buka mata dia berubah jadi Dido.” Kataku sambil
menggoyangkan badan dan kepala karena geli.
“Hahahaha, iya bener! Mirip banget itu adek
kakak! Kurang satu lagi tuh yang bikin mirip, jenggotnya Dido. Terus Jenia tau
nggak?”
Aku terdiam dan merubah raut wajahku
menjadi datar tanpa ekspresi. “Iya, Jenia tau. Aku cerita sama dia. Yang pas
pulang dari Bandung itu, aku nggak bisa nyusul kalian ya gara-gara itu.”
Satya hanya ternganga mendengar ceritaku.
“Sat!”
Satya tersadar kemudian bertanya. “Woh, dia
nggak marah? Wahh, kelainan nih si Jenia.”
“Ya dia marah, terus nangis. Ya aku minta
maaflah, aku janji. Tapi dia maafin aku kayaknya gara-gara aku ngelepas Unisba.
Soalnya habis pertengkaran tentang Hani, aku cerita tentang tawaran Unisba yang
nggak tak ambil.” Kataku kalem sambil membalas bbm dari Jenia yang belum tidur.
“Wah, Jenia serius banget sama kamu. Nggak
jauh beda sama Arista, dijaga bener-bener lah tang. Kamu nih selalu dapet cewek
yang di atas rata-rata tapi nggak bisa njaga. Entah direbut oranglah, kamunya
yang nggak betahlah atau kamunya yang nggak bisa jagalah.”
“Ceramah mulu Sat, urusin kisah cintamu dulu
deh. Masih berantakan tuh. Hahaha. Masa gebetanmu bisa lebih suka sama aku.”
Sindiranku barusan benar-benar menusuk Satya.
Satya pernah mempunyai gebetan, sebut saja
bunga. Bunga adalah adik kelas Satya di SMA yang baru. Satya orangnya sangat
baik, tetapi suka salah tingkah dan suka speechless
di depan orang yang dia sukai, jadi Satya suka gagal saat dia sedang
mendekati orang yang dia suka. Jadi perantara hubungan mereka adalah aku.
Selama beberapa bulan masa PDKT yang Satya jalani bersama wanita itu, aku mulai
mengorek isi pikiran wanita itu tentang Satya. Dia berpendapat bahwa Satya
adalah kakak kelas yang terlalu baik, Satya suka sekali memperhatikannya saat
di sekolah, Satya suka membantu saat dia dijahili teman-temannya dan Satya suka
menemani dia jika sedang menunggu jemputan. Lalu aku bertanya kepada wanita itu
tentang perasaannya kepada Satya, dan jawabannya adalah dia nggak mau
kehilangan Satya.
Mantap! Mendengar jawaban itu aku senang
sekali, akhirnya Satya bisa punya pacar lagi.
Aku nggak mau kehilangan dia karena Satya
adalah sosok kakak yang sangat baik bagiku, aku seneng banget ada dia, kata Bunga.
Jeger!
Saat aku mendengar kata itu keluar dari
mulut Bunga, aku memikirkan Satya yang akan tergeletak di tengah hujan. Oh
Satya, kamu harus banyak belajar mendekati wanita yang kamu sukai sebagai
pacarmu, bukan mendekati dia sebagai adikmu. Wanita jaman sekarang lebih suka
pria penggoda dari pada penyayang, padahal jelas kualitasnya lebih bagus pria
penyayang. Aku merasakan kualitasku busuk sekali sebagai pria penggoda, dan
sekarang aku sedang belajar menjadi pria penyayang. Cerita lanjut, setelah
Satya ku ceritakan tentang perasaan si Bunga, Satya hanya bisa ikhlas dan tidak
merubah kebiasaannya kepada wanita itu. Satya akan tetap memperhatikan dan selalu
ada saat Bunga membutuhkannya. Its cool
boy! Sahabatku ini sangat hebat. Inilah jawaban kenapa tadi aku bilang
kalau aku pria penggoda yang busuk. Tanpa sadar, aku membuat gebetan Satya jadi
suka denganku. Sumpah, aku nggak ada maksud nusuk Satya dari belakang, aku
bukan manusia homo yang suka nusuk dari belakang, walaupun sekarang maho itu
lagi trend. Secara tidak langsung, wanita
itu merasa diperhatikan dan merasa kalau aku ada buat dia. Woy, Satya woy!
Bukan aku yang mau deketin kamu! Ah sial. Dan karena aku masih sebagai pria
yang busuk, aku membuat kesalahan fatal. Walaupun wanita itu tidak sampai ku
pacarin, tapi aku sudah pernah merasakan pipi dan bibirnya. Sumpah Sat, maaf
banget dah. Kebawa nafsu, berdua doang, sepi lagi, ya kejadian deh.
Tapi, apa yang terjadi setelah Satya tau
kedekatanku dengan si Bunga? Satya malah bantuin aku! Satya BANTUIN aku buat
deketin itu wanita! oh god! Temanku
yang hina ini ternyata hatinya tidak hina. Satya membantuku biar aku jadian
sama Bunga, karena waktu itu, ada juga lelaki yang lagi deketin Bunga.
Sampai-sampai Satya menulis status di Twitter
“Lo boleh sakitin gue, tapi awas sampe lo sakitin sahabat gue!!” dan
kata-kata itu terbukti saat dia akhirnya jadian dengan lelaki yang ndeketin dia.
Di sekolah, wanita itu sering sekali dijahili kakak-kakak kelas, lebih tepatnya
teman Satya. Aku melepas wanita itu, karena aku merasa sangat tidak enak hati
dengan Satya. Itulah segelintir kisahku selama bersahabat dengan Satya.
Saat kami mengingat kejadian itu, aku dan
Satya hanya saling berpandangan dan tertawa bersama.
“Hahaha, asem. Aku inget banget tuh!
Kata-kataku keren banget kan di Twitter!.”
Kata Satya sambil tertawa lebar.
“Sumpah, kita emang udah susah dipisahkan.”
Ucapku sambil terkekeh geli.
Muka Satya datar.
Dia hanya melirikku dengan pandangan jijik.
“Sumpah, kata-katamu so shit banget!
Sama sekali nggak so sweet! Hahahahahaha.”
Seketika, lirikan jijik Satya hilang ditelan tawanya.
“Aku juga inget pas kamu ilang, tapi aku
setia nunggu kamu. Dulu, pas masih jaman-jamannya kelas satu, kamu mulai deket
sama Agung. Aku yang ngenalin kamu ke Agung, tapi lama-lama kamu main terus
sama Agung. Apalagi pas kamu lagi dapet kiriman duit banyak, pasti ilang deh
sama Agung, tak ajak main selalu nggak sempet. Udah kaya pasangan homo abadi
kalian. Terus pas kamu lagi nggak punya duit, kamu mau main di Pura, minta
jemputnya ke aku. Kamu mau dianterin ke
mana-mana, sama aku. Eh, kiriman udah datang lagi, ilang lagi deh sama Agung.
Aku cuma mbatang sendirian main game di Pura.” Cerocosku sambil mematikan rokok
yang sudah habis ku hisap.
“Oh iyo, hahaha. Ya pie ya, orang pacaran
aja bisa bosen, sahabatan juga dong. Hahahahahaha.” Satya ngakak sambil memukul
pundakku.
“Woo, singo!” Gerutuku yang sedang
mengambil sebatang rokok.
“Yaudah lah, itukan jaman kita masih abg
labil luar biasa.”
Aku menghela nafas dan bertanya. “Terus
pindah ke Jakarta kapan?”
“Bulan depan udah masuk, paling aku
berangkat minggu ini.”
Satya menjawab dengan nada lemas sambil
membunag putung rokoknya ke jalan.
“Yaudahlah, itu juga buat masa depanmu Sat.
Dukung deh! Nggak usah sedih, kan masih bisa main-main ke sini. Atau aku sama
anak-anak yang main ke sana.”
Aku berdiri dan meletakkan ke dua tanganku
di pundak Satya. “Yang penting jangan lupa dengan kekuatan dua sahabat!” Dengan
wajah berseri dan mata yang berbinar-binar penuh harapan, aku memandang Satya
sambil mengepalkan tanganku.
semuanya sudah berubah ya tang qq :')
BalasHapus(satya)