Senin, 23 April 2012

Bab 8


Friendship is Beautiful
   “BINTANG!” Teriakan Bowo di pagi hari membangunkanku yang sedang tergeletak mangap ngileran di balkon.
     Sambil mengucek-ngucek mata dan membersihkan air liur yang membiadab kemana-mana, aku bertanya pada Bowo. “Ada apasih ganteng? Berisik amat deh. Aduhh setan, badanku pegel semua, sumpah nggak enak banget tidur di sini.” Aku menggerutu sambil memijat-mijat badan.
     “Heh bego! Ini udah jam lima pagi, anak-anak tadi nelfon kamu, tapi nggak diangkat. Nih mereka pada ngrecokin aku pagi-pagi, tanya alamat. Katanya mereka udah sampe jam setengah lima! Aku nggak donk alamat rumah ini.” Tandas Bowo histeris.

     “Wah! Anjrit aku lupa, Bebi dimana?! Mana si Bebi??” Aku kelabakan mencari Bebi.
     “Ck… ck… ck… Dasar Bintang cacat, itu di kantongmu. Dari sini aja keliatan kok.”  Decaknya dengan muka datar sambil nunjuk ke kantongku.
     Aku langsung meraih Bebi dari dalam kantongku dan menelfon Satya, karena cuma Satya yang satu provider. Jadinya murah deh.
     Setelah tersambung, aku langsung menjelaskan alamat Hedot dan ongkos taksi yang biasa dibayar jika dari stasiun ke rumah Hedot.
     Liburan sendiri memang tidak menyenangkan, tetapi hari ini aku akan bersukaria bersama anak-anak gila! Mereka akan menginap di Lembang selama tinggal di sini. Mungkin ini akan menjadi liburan terakhirku bersama mereka, mungkin kami tidak akan lagi sering bersama-sama lagi seperti dulu. Kami akan mempunyai dunia yang baru dan kesibukan yang baru. Teman baru, kebiasaan baru, pacar baru. Apakah kita siap akan perubahan ini? Semoga kita semua sudah dewasa untuk menerima perubahan ini, tidak akan ada perang dingin karena merasa dilupakan dan tidak lagi diutamakan.

***

     Semua terlihat sangat kelelahan, tetapi canda ringan tetap terdengar. Tawa selalu pecah jika bersama mereka, lama-lama bisa mecahin rekor muri ketawa nih. Perjalanan yang jauh menuju Lembang dengan taksi, tidak terasa karena kebersamaan yang erat.
     Taksi yang berbentuk sedan dengan kapasitas penumpang 4 orang, kami sulap menjadi taksi sadis yang berisi 6 orang. Jalanan yang berliku dan penuh tanjakan, memaksa kami untuk berhenti karena Momon sudah tidak tahan dengan mual, dia harus mengeluarkan isi perutnya.
     Karena perjalanan yang lama, dan perubahan suhu yang drastis, setibanya di rumah, Momon langsung menuju kamar dan tidur di balik hangatnya selimut. Satya, Cabul, Agung dan Ntut di sambut dengan hangatnya teh manis dan senyuman seksi dari balik kumisnya Engking. Pagi itu kami habiskan dengan guyonan ringan dan makan pagi. Di tengah suasana itu, Satya memberikanku sebuah jaket yang dititipkan oleh Jenia. Aku lupa membawa jaket itu saat berpamitan dengannya sebelum berangkat. Jenia memang wanita yang sangat baik dan perhatian, bagaimana perasaan dia jika tau hubunganku dengan Hani. Semoga saja itu tidak terjadi.
     Sedikit mengobrol bersama di ruang tamu, Engking kumis senang sekali teman-temanku bisa berkunjung ke rumahnya. Saat pernikahan kakakku dulu, Engking kumis sudah mengajak mereka untuk main-main ke Bandung. Dan hari ini, ajakan itu sudah terpenuhi.
     Sedang asik mengobrol, tiba-tiba tantangan dari mulutku terlontar setelah melihat bahasa tubuh mereka yang menggigil kedinginan. Mereka ku tantang untuk mandi, walaupun sekarang sudah jam 10 pagi, tetapi suhu di sini sangat nggak nyantai. Menapakkan kaki tanpa sandal atau kaos kaki di lantai saja, rasanya seperti menapakkan kaki di atas balok es. Hehy! Rupanya Satya menerima tantanganku, dia langsung menuju kamar mandi dengan muka kerennya. Aku hanya ternganga melihatnya, sedangkan Cabul, Agung dan Ntut bersorak dan menggelengkan kepala. Aku aja yang sudah sering tinggal disini, jarang sekali mandi.
     “Jegreg…”
     Baru terdengar Satya menutup pintu bebrapa detik, sudah terdengar lagi suara pintu terbuka.
     “Jegreg… (lagi)”
     ”Asem i! Dingin banget! Nggak jadi aku, mending ngerokok sambil minum teh ajalah di depan,” katanya sambil menggigil dan kembali duduk.
     Kami semua terkekeh geli melihat kelakuan Satya, sok keren banget berani mandi, baru juga masuk kamar mandi beberapa detik, udah balik lagi.
     “Halaahh! Aku tau tang pikiranmu, mesti kamu bilang aku sok keren banget berani mandi… sempak, dinginnya lebay! sumpah.” Sahut Satya.
     Ditengah asiknya meledek Satya, mbak Anggi memangilku. Dia adalah kakak sepupuku paling tua, dia sudah mempunyai satu anak, suaminya bekerja di luar negri. Dia mengatakan kalau aku diterima di Universitas Islam Bandung. Ternyata ibu mengirimkan semua hasil rapot, nilai-nilai dan fotokopi ijazahku, Ibu takut jika aku jadi masuk ke sekolah tinggi negara. Aku diterima di jurusan Komunikasi Universitas itu karena nilai rapot yang meningkat dan rangking yang bagus di akhir semester, ditambah lagi dengan foto kopi sertifikat juara satu lomba penyiar radio antar SMA se-Jogja dan Jateng. Itu adalah sertifikat yang aku dapatkan saat menjadi penyiar radio di SMAku yang lama, karena SMAku dulu memiliki stasiun radio kecil sendiri. Tanpa berfikir panjang, aku menolak tawaran itu. Aku sudah fokus untuk tidak meninggalkan Jenia, dan aku masih bahagia di Jogja.

***

     Liburan kemarin bersama teman-teman yang menggila memang sangat menyenangkan, liburan yang menutup masa SMA kami dan semoga bukan liburan terakhir kami. Liburan bersama mereka tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, kami melakukan banyak hal bersama-sama. Kami bermain ke peternakan sapi, menaiki kuda, melihat indahnya peneropongan bintang Boscha, berburu baju Distro, menjajal tempat nongkrong di Bandung, menonton konser Band Indie di salah satu mall, dan banyak lagi kegilaan yang kita lakukan bersama. Tapi, kegiatan yang paling gila adalah saat kita sibuk menggunakan Blackberry kita untuk membuka GPS dan mencari jalan. Kami serasa berpetualang bersama mengelilingi kota Bandung, padahal aku sendiri juga sangat tidak mengenali jalan-jalan yang aku tunjukkan.
     Di hari terakhir sebelum pulang ke Jogja, aku menemukan suatu toko yang khusus untuk suatu perayaan pesta. Aku ingat bahwa ulang tahun Jenia tinggal sebentar lagi, aku mampir ke tokok itu untuk membeli bebrapa peralatan pesta yang aku tidak tau namanya, intinya peralatan itu untuk menyemprotkan busa berwarna putih, keren sekali coy. Ada juga alat yang jika dibuka akan melontarkan kertas warna-warni, dan ada beberapa peralatan lain yang aku juga tidak tau namanya.
     Besok Malam kami siap meninggalkan tempat liburan kami, berpisah meninggalkan keluarga kecilku yang berada di perumahan Graha Puspa Lembang. Segarnya udara pagi di sana, sangat memanjakan kami untuk terus bernafas. Dinginnya udara pagi di sana, sangat memanjakan kami untuk kembali tertidur. Harumnya masakan Enin, sangat memanjakan kami untuk menyantap habis. Dan kebersamaan kami rasakan, sangat memanjakan kami untuk kembali menjadikan Ntut sebagai bahan tertawaan karena giginya yang poel di bagian depan.
     Saat sinar matahari menembus jendela kamar, harumnya wangi teh hangat sudah membelai hidungku yang pesek nan imut. Suara-suara sunda yang sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing, membuatku terbangun. Mencicipi segarnya teh hangat buatan Ibu di pagi ini, membuat mataku segar, ternyata bukan hangat, tapi panas! Itu yang bikin mataku nggak bisa merem lagi, aku sibuk dengan lidahku yang kepanasan. Melihat 4 temanku yang masih tertidur dalam posisi menjijikkan, Ntut dan Satya saling berhadapan wajah dengan jarak yang sangat dekat, sedangkan Agung masih tertidur pulas dengan mulut yang terbuka lebar,  cabul terlihat ganteng dari balik selimut. Bentuk mereka membuatku tidak bisa menolak untuk mengabadikannya, dengan sigap aku mengambil DSLR dari tas dan… selamat melihat muka kalian di facebook ya kawan-kawan. Hahahahahaha, aku tertawa licik setelah melihat hasil jepretanku yang berjudul skandal remaja.
     Setelah semua barang sudah dikemas, badan sudah pada wangi. Kami siap untuk berpamitan dengan keluarga kakak dari Ibuku dan berpamitan juga dengan Ibuku. Berfoto-foto bersama sebelum meninggalkan mereka untuk menambah urutan kenangan kami.
     Kereta dijadwalkan berangkat nanti jam 4 sore. Kami berangkat dari Lembang pagi hari karena ingin menjamahi lagi Distro-distro di Bandung. Beberapa jam kami kesana kemari, belanja ini itu dan asik menyantap menu makanan di Café dekat situ. Milo Dinosaurus Panas, menu yang terasa sangat menggiurkan saat hujan-hujan begini.
     Setelah puas berbelanja, kami menaiki angkot tujuan stasiun. Menikmati pemandangan kota Bandung yang mulai padat. Saat berjalan memasuki stasiun, aku bertemu dua wanita yang berteriak kaget setelah melihat kami. Tika dan Cindy, mereka adalah temanku, teman Satya dan juga Agung di SMA lamaku. Secara kebetulan kami bisa bertemu di stasiun. Dan yang seru lagi, Tika adalah mantannya Agung waktu kelas satu SMA. Haha, lucu sekali, tapi biasa aja sih. Ternyata tidak cuma Jogja yang sempit, Bandung juga sempit ya. Tetapi sayang, TIka dan Cindy tidak satu kereta, mereka menggunakan kereta Eksekutif yang berangkat beberapa menit lagi.
     Sudah setengah jam kami menunggu di stasiun, kereta Malabar jurusan Madiun siap diberangkatkan. Aku dan yang lain bergegas mencari temapat duduk yang nyaman. Sedang asiknya mengobrol dan saling memperlihatkan barang belanjaan, tiba-tiba si Bebi mendesah. Aku menerima pesan dari kakak sepupuku kalau ada sebuah kunci motor Honda dengan gantungan tali bertuliskan Machbet tergantung di kursi tamu
     Jeger!
     Satya histeris! Itu kunci miliknya. Dengan pasrah kami hanya melihat ke luar jendela yang pemandangannya mulai berganti menjadi hutan dan sawah-sawah. Menandakan kami sudah meninggalkan kota Bandung.

***

     Tengah malam kami sampai di Jogja, Satya dan Cabul bergegas menuju parkiran untuk mengambil kunci serepnya. Malam yang panjang untuk empat orang pemuda yang harus terlantar di emperan stasiun pada tengah malam. Yap! Ntut dan agung asik-asik berfoto, aku dan Momon asik-asik melanjutkan tidur di tangga Stasiun.
     Pencerahan terlihat, yaaa itu sangat cerah dan silau! Satya datang dengan mobilnya dan menyorotkan lampu sialan ke arahku yang sedang asik membiadabi tangga Stasiun. Lalu kami bergegas menjamahi rumah masing-masing.
     Tidak terasa, sudah seharian kami beristirahat di rumah masing-masing. Karena hari sudah menjelang sore, ini berarti saatnya kami untuk kembali menghabiskan waktu dengan nongkrong dan bercanda, aku langsung bergegas mandi. Tidak lupa aku mengirim pesan untuk Satya, aku menunggunya di Pura Game Center. Kemudian mengirim pesan untuk Cabul, Momon dan Putri malam ini kita akan membiadab dimana?
     Setelah mandi segar, aku mengeluarkan Betty, aku hampir lupa kalau sebelum pulang ke Jogja, aku membeli beberapa oleh-oleh. Aku membawa tiga kotak Bolen, satu kotak untuk Jenia, satu kotak untuk Dara dan satu kotak lagi untuk Rizka. Sebelum aku menyatukan pantatku dengan Joknya Betty, aku mengirim pesan lagi untuk Satya yang belum juga membalas pesanku tadi, sepertinya dia masih asik bercinta dengan guling dan bantalnya. Aku memberi tau kepadanya kalau tidak jadi ke Pura, aku mau mengantarkan oleh-oleh terlebih dahulu, dan pasti akan sangat lama jika sudah bertemu dengan tiga wanita ini.
     Aku melanjutkan kegiatanku dengan Betty yang tidak melaju kencang menuju rumah Rizka. Hanya butuh beberapa menit, aku sudah sampai di rumahnya. Aku memberikan oleh-oleh ini dan berbisik menyelipkan kalimat “Dapet salam dari Satya.” Dengan gerakan yang sangat cepat, Rizka menjambakku, “aww” begitulah Rizka. Kami bercanda dan mengobrol, tetntu tidak lupa juga sedikit curhat.
     Satu jam lebih sangat tidak terasa, sekarang saatnya aku menuju rumah Dara yang sudah lama aku tidak mengtahui kabarnya. Sebelum hari gelap, aku dan Betty buru-buru menuju ke rumah Dara, tetapi tetap melaju dengan tidak kencang.
     Dara menyambutku dengan tawa cacatnya, terlihat mukanya yang merindukan sosok keren dan maskulinku. Tiba-tiba Dara menjambakku dan dia bilang kalau tidak usah bilang sosok keren dan maskulin, wah Dara hebat sekali, dia bisa mengerti kalau aku ingin sekali mengatakan itu dalam sebuah tulisan.
     Di sela-sela obrolan kami, Dara menyelipkan curhatannya. Dia menceritakan ini itu tentang Noval dan beberapa masalah dengan teman-temannya. Aku suka sekali saat Dara mengeluarkan semua unek-uneknya. Aku jadi merasa seperti menggunakan kacamata dengan rambut yang berwarna norak, kemudian aku menghipnotis Dara dan membuatnya mengeluarkan unek-unek, lalu aku berkata ”Jangan kemana-mana, anda masih di Bintang memang Bintang!” hahaha aku tertawa gila.
     Aku senang sekali bisa mendengar Dara sedikit membagi bebannya, dia tau aku berotot dan maskulin yang terlihat kuat untuk membawakan beban-beban hidupnya, terlihat sekali setelah dia bercerita semua masalahnya, dia menjadi lebih ringan. Padahal dia wanita yang tidak bisa dibilang kurus, apalagi ringan. Anda benar! Dara lumayan gendut, dia suka sekali dipanggil Rizka dengan sebutan montok.
     Sedang asiknya berceloteh ria, desahan Bebi terdengar karena pesan dari Putri masuk, yang mengatakan bahwa mereka siap cabut satu jam lagi. Aku membalas pesan Putri kalau aku ke rumah Jenia dulu untuk mengantarkan oleh-oleh. Setelah itu, aku buru-buru brekemas dan membereskan air liurku yang tercecer di ruang tamu karena tertawa tadi. Kemudian aku berpamitan pada kak Gita yang sedang asik menemani Citra menonton… Barney! Yup! Dinosaurus ungu nan lucu ini menghipnotis kak Gita yang ikut antusias menyanyikan lagu “Sing a Song” dengan gembira dan penuh gerakan suka cita, dia terlihat sangat kegirangan.
     Aku dan Betty melaju tidak kencang, tujuanku sekarang adalah rumah Jenia. Aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengannya. Melihat wajahnya dan senyuman manisnya, menikmati secangkir Milo ala Jenia yang manis, mengobrol panjang lebar dengannya dan menerima ejekannya tentang hidung pesekku, aku juga tidak sabar memukulnya dengan linggis, haha. Alunan musik Just the Way You Are – Bruno Mars feat Charisma Bintang menemani perjalanan tidak kencangku dengan Betty.
     Jenia membuka pintu dan menyambutku dengan senyuman, sebuah pelukan dan sebuah kecupan manis di pipiku, untuk bukan pukulan linggis yang menyambutku. Dia terlihat berbeda sekali, walaupun hanya dengan kaos seadanya dan celana pendek, dia terlihat manis, sangat manis. Bolen dari bandung yang ada di tanganku jelas kalah manisnya kemudian langsung ku berikan pada mamanya yang sedang sibuk bermain dengan Blackberrynya. Mama jenia sangat suka sekali Bolen Cokelat Pisang yang aku bawa.
     Bersama Jenia, waktu benar-benar terasa sangat cepat dan tidak bisa dihentikan. Walaupun tidak bersama Jenia, waktu memang tidak akan bisa dihentikan. Alunan lagu Bruno Mars  tanpa feat Charisma Bintang – Just the way you are menemaniku menggombal Jenia. Semua dari Jenia adalah “sesuatu” yang sangat indah, Alhamdulillah yah. Matanya yang begitu bulat, hidungnya yang mancung dan bibirnya yang manis, membuatku susah untuk berkedip. Sifat manjanya membuatku selalu ingin ada saat dia membutuhkanku, secangkir Milo hangat ala Jenia membuat malam ini sangat lengkap.
     Bebi bergetar beberapa kali, terlihat pesan dari Putri masuk. Aku tak menghiraukan kalau Putri, Cabul, Momon dan Satya tengah Menungguku di tempat yang sudah ditentukan.
     Jenia meraih Bebi yang sedang asik memainkan lagu-lagu Bruno Mars. Raut wajah berserinya berubah, datar tanpa ekspresi kemudian dia meletakkan Bebi kembali. Sepertinya aku tau apa yang telah dia lihat, aku lupa menghapus percakapanku dengan Hani.
     “Kamu ada hubungan lagi sama Hani?” tanya Jenia datar.
     “Mmmm, iya. Kemarin pas dia di Jogja aku ketemu dia. Sekalian ketemu Dido.”
     Dengan kikuk aku menjawab pertanyaan Jenia dan mencoba untuk menenangkannya sebisaku, tapi sepertinya susah. Yang aku takutkan benar-benar terjadi.
     Jeger!
     “Oh, terus kemarin pas di Bandung ketemu? Kamu masih sayang sama Hani?” Jenia bertanya langsung tanpa basa-basi.
     “Enggak, di Bandung nggak ketemu. Cuma bbman aja. Mungkin aku masih sayang sama Hani, tapi aku cuma mau bikin dia semangat lagi.” Aku menjawab sambil meneguk Milo hangat ala Jenia, glek.
     “Yaudah, keputusanmu terserah kamu. Itu temen-temenmu udah nunggu. Ntar mereka marah kalo kamu lebih mentingin aku dari pada mereka yang udah nungguin kamu.” Kata jenia dengan nada yang meninggi.
     “Enggak papa, sekali-sekali aku nggak ikut mereka nongkrong.” Aku meletakan Milo yang tadi ku teguk dan memegang tangan Jenia yang terlihat makin jengkel. “Iya aku jujur aku ada hubungan sama Hani, aku cuma coba buat dia semangat lagi. Kamu kenal dia, kamu tau dia, aku nggak mau sembunyi-sembunyi dan kamu tau alasanku.”
     “Iya-iya, terserah kamulah. Udah sekarang kamu nyusul temen-temenmu aja sana, kan enak di sana. Bisa ngerokok terus, bisa bbman sama Hani juga.” Gerutu Jenia.
     “Maaf ya sayang.”
     “Iya!.” Jawab Jenia ketus.
     Aku tau Jenia tidak bisa membendung air matanya, pertanyaanku malam itu di rumah Hedot belum ada jawabannya. Tapi kini aku harus menjawab sendiri pertanyaanku, dan jawabannya adalaha aku harus menysukuri apa yang aku miliki sekarang, Jenia. Dan aku harus menjaga Jenia.
     Di sela-sela pertengkaran, aku memberitahu Jenia berita dari mbak Anggi saat kemarin di Bandung. Seketika, air mata Jenia tak terbendung. Aku sudah menduga, karena Jenia pernah bilang kalau dia sudah lelah untuk mencari pacar lagi. Dengan senyuman, aku memeluknya dan mengatakan bahwa aku tidak menerima tawaran itu, walaupun sudah dibebaskan dari biaya pendaftaran. Karena aku juga tidak sanggup meninggalkannya, ya.. aku benar-benar tidak bisa meninggalkannya.
     “Aku nggak bisa LDR.” Seru Jenia di tengah tangisannya.
     Untung aku sudah pernah membaca novelnya Raditya Dika, dan aku sudah tau apa itu LDR, jadi aku tidak harus mencari di internet ataupun berfikir kalau arti dari LDR adalah Long Dick blablabla. Hahaha.
     “Iya sayang, aku milih kamu. Aku juga nggak bisa harus pergi jauh dan lama dari kamu.” Bisikku lembut walaupun suaraku tidak seksi.
     Pertengkaran malam itu ditutup dengan tangis dari Jenia dan tekad yang bulat dariku untuk selalu memberi yang terbaik kepada Jenia, trust me! It works.

***

     Malam ini aku dan Satya sedang menikmati kembali waktu kami berdua, setelah berjam-jam kami asik main game, kami melakukan kebiasan intim kami jika sudah berduaan saat dini hari, yaitu merenung dan mengoreksi diri di sebuah warung burjo dekat rumah Satya.
     “Tang, jadinya kamu masuk mana?” Tanya Satya memecah heningnya malam.
     “Udah ngelepas dua kesempatan, aku milih di Jogja aja, UMY Komunikasi udah keterima sih, tapi mahal uang gedung.” Jawabku sambil menyalakan rokok.
     “Halahh, ati-ati aja tang. Kamu korbanin masa depanmu, nanti kamu sendiri yang kena. Jangan asal milih, sebelum terlambat.”
     “Aku tetep sama pendirianku kok, santai bray. Terus kamu akhirnya dimasukin di mana sama om Putra?”
     “Kemarin sih bapaku ke Jakarta, masukin berkas-berkasku ke UI. Mau dimasukin di jurusan Manajemen Bisnis gitu.” Ujarnya sambil menatap langit, terlihat pandangannya yang belum ikhlas meninggalkan kota ini dan teman-temannya.
     “Anjrit! Kamu pindah Jakarta donk?” sontak aku kaget mendengarnya. “Wahh! Nggak ada pilihan lain po?”
     “Enggak tang, aku udah wajib dimasukin situ. Aku juga nggak mau ninggalin kalian, tapi mau gimana lagi. Aku terlalu banyak hutang budi sama mereka, sekarang mungkin saatnya buat sedikit membalas hutang budi itu dengan mengikuti kemauannya mereka.”
     “Ah sumpah ya, nggak asik gilak! Nggak ada anak yang nemenin aku main game lagi, nggak ada yang bagi aku rokok lagi, nggak ada yang kasurnya tak tidurin lagi, nggak ada temen curhat antar lelaki ganteng lagi, nggak ada si hidung besar lagi.”
     “Santai lah tang, kamu enak tau. Di sini masih ada Cabul, Momon, Putri, Agung, Ntut, Bowo, Sanang dan anak-anak yang lain. Kamu kan anak eksis tang, banyak lagi kimcilnya.” Sindir Satya sambil melirik tajam ke arahku. “Sekarang kamu juga ada Jenia, seneng deh aku liatnya. Jenia udah bikin kamu jadi orang yang konsisten dan nggak nggodain cewek-cewek lagi.
     “Hahahaha, preketek lah Sat. Baru juga beberapa minggu lalu aku berduaan sama Hani.”
     Belum selesai aku tertawa, Satya langsung memukul kepalaku. “Wo goblok! Udah sih, anak orang. Mereka punya hati, bukan kaos kaki yang pake ganti pake ganti.”
     “Aihh, sakit nih pala. Iye iye aku tau, tapi gimana lagi Sat, posisinya menggoda sekali sumpah. Berduaan, dia nyium pipiku yang deket banget sama bibir, taassss! Kena dah.” Sambil memegangi kepala yang mau benjol, aku bercerita penuh suka cita dengan mata yang berbinar.
     “Iya sih, kalo aku jadi kamu dengan posisi kaya gitu, apalagi sama adeknya Dido! Wah, nggak ada cowo yang bisa nolak kesempatan itu deh. Coba kamu nggak pake kawat tang, paling sekarang gigimu masih mrongos dan nggak bakal aku akuin kalo kamu “sedikit” lebih ganteng dari aku. SEDIKIT! Camkan itu.” Tandas Satya sambil memperlihatkan tangannya yang menunjukkan jari kelingkingnya.
     “Hahaha, santai lho bung. Sumpah, aku kaya ciuman sama Dido. Mereka mukanya mirip banget. Cuma beda rambutnya doang, geli sendiri aku kalo tau-tau pas buka mata dia berubah jadi Dido.” Kataku sambil menggoyangkan badan dan kepala karena geli.
     “Hahahaha, iya bener! Mirip banget itu adek kakak! Kurang satu lagi tuh yang bikin mirip, jenggotnya Dido. Terus Jenia tau nggak?”
     Aku terdiam dan merubah raut wajahku menjadi datar tanpa ekspresi. “Iya, Jenia tau. Aku cerita sama dia. Yang pas pulang dari Bandung itu, aku nggak bisa nyusul kalian ya gara-gara itu.”
     Satya hanya ternganga mendengar ceritaku.
     “Sat!”
     Satya tersadar kemudian bertanya. “Woh, dia nggak marah? Wahh, kelainan nih si Jenia.”
     “Ya dia marah, terus nangis. Ya aku minta maaflah, aku janji. Tapi dia maafin aku kayaknya gara-gara aku ngelepas Unisba. Soalnya habis pertengkaran tentang Hani, aku cerita tentang tawaran Unisba yang nggak tak ambil.” Kataku kalem sambil membalas bbm dari Jenia yang belum tidur.
     “Wah, Jenia serius banget sama kamu. Nggak jauh beda sama Arista, dijaga bener-bener lah tang. Kamu nih selalu dapet cewek yang di atas rata-rata tapi nggak bisa njaga. Entah direbut oranglah, kamunya yang nggak betahlah atau kamunya yang nggak bisa jagalah.”
     “Ceramah mulu Sat, urusin kisah cintamu dulu deh. Masih berantakan tuh. Hahaha. Masa gebetanmu bisa lebih suka sama aku.” Sindiranku barusan benar-benar menusuk Satya.
     Satya pernah mempunyai gebetan, sebut saja bunga. Bunga adalah adik kelas Satya di SMA yang baru. Satya orangnya sangat baik, tetapi suka salah tingkah dan suka speechless di depan orang yang dia sukai, jadi Satya suka gagal saat dia sedang mendekati orang yang dia suka. Jadi perantara hubungan mereka adalah aku. Selama beberapa bulan masa PDKT yang Satya jalani bersama wanita itu, aku mulai mengorek isi pikiran wanita itu tentang Satya. Dia berpendapat bahwa Satya adalah kakak kelas yang terlalu baik, Satya suka sekali memperhatikannya saat di sekolah, Satya suka membantu saat dia dijahili teman-temannya dan Satya suka menemani dia jika sedang menunggu jemputan. Lalu aku bertanya kepada wanita itu tentang perasaannya kepada Satya, dan jawabannya adalah dia nggak mau kehilangan Satya.
     Mantap! Mendengar jawaban itu aku senang sekali, akhirnya Satya bisa punya pacar lagi.
     Aku nggak mau kehilangan dia karena Satya adalah sosok kakak yang sangat baik bagiku, aku seneng banget ada dia, kata Bunga.
     Jeger!
     Saat aku mendengar kata itu keluar dari mulut Bunga, aku memikirkan Satya yang akan tergeletak di tengah hujan. Oh Satya, kamu harus banyak belajar mendekati wanita yang kamu sukai sebagai pacarmu, bukan mendekati dia sebagai adikmu. Wanita jaman sekarang lebih suka pria penggoda dari pada penyayang, padahal jelas kualitasnya lebih bagus pria penyayang. Aku merasakan kualitasku busuk sekali sebagai pria penggoda, dan sekarang aku sedang belajar menjadi pria penyayang. Cerita lanjut, setelah Satya ku ceritakan tentang perasaan si Bunga, Satya hanya bisa ikhlas dan tidak merubah kebiasaannya kepada wanita itu. Satya akan tetap memperhatikan dan selalu ada saat Bunga membutuhkannya. Its cool boy! Sahabatku ini sangat hebat. Inilah jawaban kenapa tadi aku bilang kalau aku pria penggoda yang busuk. Tanpa sadar, aku membuat gebetan Satya jadi suka denganku. Sumpah, aku nggak ada maksud nusuk Satya dari belakang, aku bukan manusia homo yang suka nusuk dari belakang, walaupun sekarang maho itu lagi trend. Secara tidak langsung, wanita itu merasa diperhatikan dan merasa kalau aku ada buat dia. Woy, Satya woy! Bukan aku yang mau deketin kamu! Ah sial. Dan karena aku masih sebagai pria yang busuk, aku membuat kesalahan fatal. Walaupun wanita itu tidak sampai ku pacarin, tapi aku sudah pernah merasakan pipi dan bibirnya. Sumpah Sat, maaf banget dah. Kebawa nafsu, berdua doang, sepi lagi, ya kejadian deh.
     Tapi, apa yang terjadi setelah Satya tau kedekatanku dengan si Bunga? Satya malah bantuin aku! Satya BANTUIN aku buat deketin itu wanita! oh god! Temanku yang hina ini ternyata hatinya tidak hina. Satya membantuku biar aku jadian sama Bunga, karena waktu itu, ada juga lelaki yang lagi deketin Bunga. Sampai-sampai Satya menulis status di Twitter “Lo boleh sakitin gue, tapi awas sampe lo sakitin sahabat gue!!” dan kata-kata itu terbukti saat dia akhirnya jadian dengan lelaki yang ndeketin dia. Di sekolah, wanita itu sering sekali dijahili kakak-kakak kelas, lebih tepatnya teman Satya. Aku melepas wanita itu, karena aku merasa sangat tidak enak hati dengan Satya. Itulah segelintir kisahku selama bersahabat dengan Satya.
     Saat kami mengingat kejadian itu, aku dan Satya hanya saling berpandangan dan tertawa bersama.
     “Hahaha, asem. Aku inget banget tuh! Kata-kataku keren banget kan di Twitter!.” Kata Satya sambil tertawa lebar.
     “Sumpah, kita emang udah susah dipisahkan.” Ucapku sambil terkekeh geli.
     Muka Satya datar.
     Dia hanya melirikku dengan pandangan jijik. “Sumpah, kata-katamu so shit banget! Sama sekali nggak so sweet! Hahahahahaha. Seketika, lirikan jijik Satya hilang ditelan tawanya.
     “Aku juga inget pas kamu ilang, tapi aku setia nunggu kamu. Dulu, pas masih jaman-jamannya kelas satu, kamu mulai deket sama Agung. Aku yang ngenalin kamu ke Agung, tapi lama-lama kamu main terus sama Agung. Apalagi pas kamu lagi dapet kiriman duit banyak, pasti ilang deh sama Agung, tak ajak main selalu nggak sempet. Udah kaya pasangan homo abadi kalian. Terus pas kamu lagi nggak punya duit, kamu mau main di Pura, minta jemputnya ke  aku. Kamu mau dianterin ke mana-mana, sama aku. Eh, kiriman udah datang lagi, ilang lagi deh sama Agung. Aku cuma mbatang sendirian main game di Pura.” Cerocosku sambil mematikan rokok yang sudah habis ku hisap.
     “Oh iyo, hahaha. Ya pie ya, orang pacaran aja bisa bosen, sahabatan juga dong. Hahahahahaha.” Satya ngakak sambil memukul pundakku.
     “Woo, singo!” Gerutuku yang sedang mengambil sebatang rokok.
     “Yaudah lah, itukan jaman kita masih abg labil luar biasa.”
     Aku menghela nafas dan bertanya. “Terus pindah ke Jakarta kapan?”
     “Bulan depan udah masuk, paling aku berangkat minggu ini.”
     Satya menjawab dengan nada lemas sambil membunag putung rokoknya ke jalan.
     “Yaudahlah, itu juga buat masa depanmu Sat. Dukung deh! Nggak usah sedih, kan masih bisa main-main ke sini. Atau aku sama anak-anak yang main ke sana.”
     Aku berdiri dan meletakkan ke dua tanganku di pundak Satya. “Yang penting jangan lupa dengan kekuatan dua sahabat!” Dengan wajah berseri dan mata yang berbinar-binar penuh harapan, aku memandang Satya sambil mengepalkan tanganku.

1 komentar: