Sabtu, 21 April 2012

Bab 7


Holiday
Dua bulan lebih liburan telah ku lewati dengan tidak jelas, aku berserta Satya CS kecuali Putri. Merencanakan Liburan ke Bandung. Yeah! Holiday! Kita akan bersukaria di Bandung. Persiapan sudah matang, semua ongkos sudah siap dan rencana kemana saja tempat yang akan kita kunjungi sudah ada. Tapi tidak tau, apakah tempat-tempat itu bersedia kita kunjungi atau tidak. Pokoknya, hajar bleh!

     Malam ini aku berangkat ke Bandung, seminggu setelah kepulangan Hani dan Dodi. Tiket kereta bisnis untuk satu orang telah ku genggam. Dengan mata yang berbinal, eh maksudku berbinar, aku siap berpetualan ke Bandung. Satya, Cabul, Momon, Agung dan satu lagi teman kerenku Ntut, akan menyusulku beberapa hari kemudian. Sepertinya manusia biadab dengan sebutan Ntut ini harus ku kenalkan dulu. Nama aslinya adalah Addy Hilman, dia adalah anak sekeslaku dulu saat di SMA lama. Kita akrab karena Game Online. Entah mengapa nama indahnya berubah menjadi N T U T. mungkin karena sifatnya yang ngentutan. Tapi itulah kita, suka asal memberi nama pada sesuatu atau seseorang.
     Aku memberi kabar ke Hani kalau malam ini aku menuju ke kotanya. Dari pada menjadi pengangguran karena aku belum mendapatkan Universitas, lebih baik mencari pengalaman ke kota Kembang.
     Setelah kemarin berpamitan dengan Jenia, dia meminjamkanku sebuah Head Set putih kesayangannya, dan namanya adalah si putih. Si putih memang spesial, harganya aja udah bikin aku gigit kaos kaki, tapi kalau udah terpasang di kedua telinga, nggak rugi deh harga gigitan kaos kaki itu.
     Im ready! Ibu, aku sudah siap menyusulmu~ uwoo uwoo. Ibuku sudah di Bandung beberapa hari lalu. Ibu memang suka sekali pergi kesana-kesini, karena sudah tidak ada Ayah lagi, dia mencari kesibukan sendiri ke berbagai kota mengunjungi teman-teman SMAnya.
     Malam ini aku diantar kakakku menuju stasiun Tugu, seperti biasalah… Betty melaju dengan tidak kencang. Melewati ramainya kota Jogja saat liburan tiba. Huft, bukan tidak kencang lagi si Betty melaju, tetapi berhenti… iya berhenti! Macett!! Sial.

***

     “Kiaracondong! Ayo yang turun di Kiaracondong siap-siap.” Teriakan kondektur pagi itu membangunkanku. Kenapa aku ceritanya langsung udah sampai di Bandung? Menurutku, menceritakan kesendirianku itu hal yang tidak penting. Jadi nikmatilah ceritaku bersama orang yang membuatku lebih hidup, karena bagiku sendiri itu neraka. Padahal Cuma nggak mau nyeritain kalo aku dari tadi cuma tidur sambil mangap terus ngiler kemana-mana.
     Merasa otot-otot di mata sipitku sudah segar bugar, aku siap untuk menikmati hariku di Bandung. Setelah stasiun ini ku lewati, aku akan memijakkan langkah-langkah kecilku di Bandung. Langkah kecil yang akan membuat perubahan besar, hahaha udah kaya Neil Amstrong.
     Alunan musik dengan bas yang nggak santai keluar dari Si putih yang bekerjasama dengan Bebi, menemaniku hingga stasiun Kota Bandung. Dengan senyuman lebar dan segarnya suasana pagi ini, begitu antusias aku menghirup asap rokok mas-mas yang duduk di depanku. Udara yang tidak penting ini harus menutupi udara segar pagi hari kota kembang.
     “Ting ting ting tung, tung ting ting tung” suara khas stasiun menyambut kedatanganku pagi ini. Langit terlihat masih gelap saat aku meletakkan kakiku di lantai, tiba-tiba lampu menyala dan menyorotku! Jeng! Jeng jeng jeng! Dengan close up pada wajahku, aku berkata “Every day I’m shuffling!”. Hahahahaprek, aku tertawa senyum-senyum sendiri saat membayangkan kalau itu terjadi beneran.
     Saat lagi asik membayangkan hal-hal cacat yang tidak penting, tiba-tiba sesosok manusia tua dan berkumis tebal menghampiriku dari kejauhan. Bersama seorang pemuda botak, kira-kira berumur 30 tahun. Mereka berdua terlihat garang. Tanpa basa-basi, mereka langsung meraih tas koperku! Secara reflek, aku melihat pemuda botak itu dan memegang tangannya.
     “Mamang egooottt, masih botak aja deh!” Sapaku kegirangan karena bertemu kakak sepupu paling keren. Bentuknya kaya Vin Disel tanpa tattoo.
     “Hahaha, cicing bae nyak. Cilepeng!” Sambutnya dengan tawa lebar sambil mengacuhkan tanganku yang ingin bersalaman dan langsung mengacak-ngacak rambutku.
     “Halah, ngomong opo toh maasss. Hai engking, kabarnya gimana?” dengan muka datar aku langsung menoleh ke sosok manusia berkumis tebal itu.
     “Apik-apik wae lah dub.” Jawab engking kumis dengan nada jawa yang aneh.
     Mereka memang selalu menyenangkan jika bertemu. Pagi itu memang pagi yang aneh, mungkin karena ada aku. Kami langsung melanjutkan perjalanan menuju Lembang, siap untuk menyerbu makanan-makanan yang sudah disiapkan Enin (panggilan untuk nenek di sunda).

***
     Saat di perjalanan menuju Lembang, aku menelfon Jenia. Tetapi, jam menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Sudah pasti dia tidak akan mengangkat karena mungkin masih tidur. Okelah, bbm saja kalau begindang. Dan tidak lupa juga bbm Hani, hehehe.
     Pemandangan asli pegunungan tempat ini yang didominasi pohon dan jurang, menandakan sebentar lagi aku akan menikmati makanan yang melimpah, dan aku bingung apa hubungannya antara pemandangan dan makanan.
     “Ahhh~” sedang asik membayangkan makanan yang akan ku biadabi, tiba-tiba si Bebi mendesah.
     “Sayang udah sampe?” Terlihat isi pesan dari Jenia.
     Sambil memandang Display Picture Jenia, aku tersenyum kangen, kemudian aku membalas bbmnya “Iya cinta, tadi aku mau telfon tapi paling kamu masih tidur. Ini baru di jalan mau ke Lembang. Miss you :* sayang.”
     “Alhamdulillah sudah sampai. Mmm, aku nggak kangen tuh :p hahaha.” Jawab Jenia nantang.
     “Oke Jen! Fine ya nggak kangen, terserah! Urusanmu! Aku kangen.”
     “Iya deh iya sayang, nggak usah ngambek gitu. Ntar tak gantung lho di depan pintu rumah. Nggak mau kan? Pasti di dalem mobil itu bibirmu tambah monyong deh gara-gara manyun, idungnya ntar tambah keliatan pesek lho say.” Goda Jenia yang suka banget nyindir hidung eksotisku, mentang-mentang hidungnya mancung nggak ketulungan. Dasar keturunan Belanda menyebalkan, dia penjajah! Penjajah kemerdekaan hidungku.

***

     Hari-hariku di Bandung sangat menyenangkan, apalagi dengan keluarga yang cicing pisan dah, borokok jawa koek. Tapi hari-hari menyebalkan juga ada, aku paling benci disaat mereka berkumpul dan bersenda gurau, tertawa, terlihat sekali yang ditertawakan mereka adalah hal yang benar-benar lucu. Saat mereka tertawa terkekeh nggak karuan, aku hanya bisa terdiam dan mencoba ikut tertawa, tetapi tidak bisa. Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan! Apalagi yang mereka tertawakan, kalo ngobrol pake bahasa jawa aja sih, mana ngarti abdi teh. Setiap mereka selesai tertawa, pasti mereka menoleh ke arahku secara bersama-sama, lalu melontarkan pertanyaan dengan bahasa sunda “ngarti ente jawa? Haha,” aku cuma bisa menggelengkan kepala, dan mereka makin terkekeh geli, puas kabeh.
     Ini Indonesia! Plis deh, ini negara demokrasi, bukan negara diskriminasi. Jangan lupa Bhineka Tunggal Ika, masa yang orang jawa didiskriminasi di sunda. Tunggu pembalasanku nanti. Aku hanya bisa bergumam sendiri di dalam hati dengan tekat membara seperti Soekarno saat pidato proklamasi sambil menikmati taman bunga di belakang rumah. Bau khas dari kotoran sapi dan pupuk tanaman mengingatkanku pada Jenia, aku juga bingung kenapa bisa begitu, mungkin karena kangen ya? Semua-semua jadi tentang kamu. Hahaha, kasian kamu Jeniaku sayang.
     Sore ini aku hanya bisa menikmati pantat-pantat sapi di belakang rumah, melihat para sapi-sapi semok yang sedang diperas susunya. Pemandangan yang tidak mungkin aku nikmati di belakang rumahku. Pasti kalo ada Cabul disini, aku susah bedain deh, antara pantat sapi dan Cabul. Dua hari lagi mereka baru datang, manusia jawa akan menguasai.

***

     Nanti malem Satya CS berangkat dari jogja, besok subuh baru sampai. Aku memutuskan untuk menginap di rumah Hedot, di rumahnya juga ada Bowo. Mereka adalah temanku dan teman-teman Satya CS juga di Jogja. Karena sedang liburan, Bowo ikut Hedot ke Bandung. Mereka sudah satu minggu di Bandung. Aku menginap di sini karena rumah Hedot berada di Taman Sari, dekat dari pusat kota dan tentunya stasiun.
     Siang ini kami habiskan waktu dengan bermain PS 3 yang ada di sebelah rumah, bermain sepak bola yang menurutku sih nggak penting sekali. Ngapain aku jauh-jauh ke Bandung kalo cuma buat main Bola di PS 3, di Jogja juga bisa. Tapi apa daya, aku tidak bisa menolak muka menantangnya si Hedot yang sepertinya meremehkan kemampuanku menggenggam Stik PS.
     Permainan yang tak membosankan ini ternyata sudah memakan waktu 5 jam, dan tak terasa sudah jam 7 malam. Aku dan Hedot sangat hanyut dengan permainan ini. Setelah lelah dan sadar sudah bermain selama itu, kami baru ingat kalo ada satu manusia lagi. Dimana si Bowo? Siapa yang mau nyulik orang kaya Bowo? Hina sekali penculiknya, buta, bego, cacat kalo sampe itu terjadi. Nggak lulus dia jadi penculik.
     “Ngapa tang?” Sapa Bowo yang sepertinya mengetahui pikiran cacatku.
     “Hehehe, nggak papa kok wok. Tak kira kamu ilang. Aku nggak mikir kalo kamu diculik kok, dan aku nggak ada pikiran kalo sampe ada yang nyulik kamu tu berarti penculiknya bego, cacat, buta dan penculiknya pasti nggak lulus jadi penculik.” Aku menjawab sambil cengengesan dan mengacungkan dua jari tanda damai.
     “Woo, bintang kutang!” Bowo menjawab tandas dengan bibir manyun. “Aku nggak se hina itu juga sih.” Sindirnya sambil mengernyitkan dahi dan menghisap rokok yang barusan dia beli.
     Mendengar percakapan barusan, sontak membuat Hedot tak bisa menahan tawanya. Hedot hanya terkekeh geli melihat kelakuan kami.
     “Ayo ke CK, kita minum teman kitaaaa! Hahaha.” Ajak Hedot sambil merangkulku dan tertawa sendiri.
     Dengan garing, aku dan Bowo hanya saling memandang dengan muka homo yang datar.
     “Ngomong apa sih kamu dot? Sumpah nggak jelas banget, stress nih orang.” Seruku sambil menyalakan rokok yang ku minta dari Bowo, kami saling hisap, hisap batang rokok.
     “Ahh, otak pada di pantat semua sih. Kita menghangatkan diri dengan Bir BINTANG! BINTAAANNGG! Temen kita kan namanya BINTANG!!!” geram Hedot sambil mengacungkan jari telunjukknya ke arahku! Ke arah hidung seksiku lebih tepatnya, dia menunjukku dengan wajah serius dan mata yang berbinar-binar.
     Aku dan Bowo tersentak kaget setelah melihat apa yang dilakukan Hedot dengan penuh semangat membara menujukku, menunjuk hidung seksiku. Sambil saling berpandangan kita hanya terkekeh geli, aku melihat mata Bowo yang mengatakan kalau kita satu pikiran. Pasti Hedot udah kelamaan nggak punya pacar, jadinya stress kaya gitu, sukannya nunjuk-nunjuk cowok, batinku sambil melihat Bowo dengan penuh birahi.
    
***

     Malam ini sudah 4 botol kami habiskan, rasa hangat di tubuh dan sedikit melayang menyelimuti kami. Walaupun malam belum larut, daerah ini sudah terlihat sepi. Karena memang daerah ini sangat ramai kalau siang hari, dan malam hari hanya beberapa kendaraan yang melintas.
     Aku mencari Bebi yang dari siang ku tinggal di kamar Hedot, oh damn! Ada 13 miss call  3 bbm masuk. Saat ku buka, terlihat 7 miss call dari Jenia dan 6 dari Hani.
     Setelah aku laporan atas apa yang terjadi dari siang tadi. Murka Jenia harusku telan dari gagang telfon, Jenia berkata ini itu blablabla panjang lebar.
     “KAMU TU NGAPAIN MABOK-MABOK SEGALA, UDAH KEREN PO KALO MABOK GITU? TAMBAH GANTENG? PUAS? JADI ANAK GAHOL BANDUNG GITU KALO MABOK?” DORR meledak.
     Jenia nyerocos tanpa henti. Karena aku belum terlalu sadar, aku hanya bisa mengangguk dan mengangguk dengan bego.
     “KAMU TU KALO DIKASIH TAU JAWAB KEK!” Amuk Jenia dengan suara yang nggak santai.
     “Iya iya sayang, aku udah ngangguk-ngangguk nih lho. Dari tadi kamu ngomong juga aku ngangguk terus kok.” Jawabku dengan polosnya seperti tidak ada yang terjadi.
     “Hellooooo pacarku tersayang, ini telfon, bukan 3G. Plis deh yang. Ganteng, rangking, lucu tapi kalo bego ya tetep bego deh.” Sindirnya sambil menurunkan nada suara yang dari tadi benar-benar terdengar sangat tinggi.
     “Oh iya ya? Hehehe...” aku hanya bisa tertawa kecil melihat kelakuanku, melihat? Gimana caranya melihat kelakuan sendiri? Begonya nggak ketulunagan.
     Setelah beberapa menit diceramahi Jenia, sekarang gentian Hani yang nyerocos  di sebrang BBM tapi dengan kata-kata dan nada yang lebih lembut.
     “Bintang sayang, jangan minum-minum lagi ya. Ntar kalo ketemu aku, botolnya bisa masuk ke mata kamu lho, belum pernah kan ngerasain kelilipan BBB? Botol Bir Bintang.” Ujarnya dengan suara yang terdengar lucu.
     “Iya Hani, enggak lagi kok. Ini juga gara-gara dipaksa oleh udara dingin di disini. Enak nih menghangatkan diri dengan 4 botol bir.” Jawabku dengan penuh alibi nggak penting. “You’re beautiful, cause baby you’re firework and girl like you is imposible to find.” Godaku ke Hani. Sejenak aku kembali menikmati suaranya.
     “Apasih kamu nih tang, lagi dikasih tau malah nggombal.” Balas Hani dengan suara rendah yang terdengar malu-malu.
     “Hahaha, ya biar berhenti nyerocos kamunya. Sana gek cari cowok, masa harus aku terus sih yang nggombalin kamu. Ntar siapa yang nggombalin Jenia?” Aku bertanya pelan sambil berjalan ke parkiran dan memandang langit yang penuh bintang.
     “Iya deh iya, tapi nggak sekarang juga tang. Ntar juga ketemu temen baru. Maaf ya jadi bikin kamu ngedua lagi.”
     “Nggak papa, yang penting kamu bisa semangat lagi dan bisa ceria lagi. Ntar masalah Jenia, biar aku yang tanggung. Kamu tu adiknya Dodi, dia aja bisa bikin aku semangat kok. Masa aku nggak bisa bikin adiknya semangat juga. Langit malem ini cerah banget tuh, kalo kamu mau ngerasa tenang, liat aja ke langit. Banyak bintang! Coba, cari bintang mana yang lagi aku liat? Hahaha.”
     “Makasih tang, kamu emang cowok yang bener-bener baik tapi selalu salah dalam melakukan kebaikan, hahaha.” Sindir Hani yang suaranya mulai terdengar sedu dan diiringi dengan tangisan. “Gimana mau liat, bintangnya buanyak! Tapi aku bisanya denger bintang hatiku di sebrang telfon ini, walaupun nggak bisa nyari di langit.”
     Perbincangan malam itu dengan Hani di telfon, membuatku tersadar. Aku melakukan kesalahan lagi, aku mulai mengulang kejadian dulu. Aku harus bagaimana? Apa yang harus ku lakukan? Pertanyaan dalam hati yang tidak akan ada yang mendengar, apalagi menjawabnya. Hati kecilku mengamuk, dia ingin memberontak agar aku tidak meneruskan ini. Jangan buat Jenia merasakan pahitnya kopi espresso.
     Aku hanya terduduk kaku di atas karpet yang tergelar di balkon depan kamar Hedot, memandang taburan bintang yang menghiasi malam ini. Berfikir dan bertanya pada binang-bintang di atas. Di satu sisi, aku tidak ingin menyakiti Hani. Di sisi lain aku tidak ingin menghancurkan hati Jenia. Tapi kalau aku terus melakukan ini, yang ada dua-duanya mati dah. Parah banget deh aku, hina sekali! Teriakku dalam hati yang kebingungan dan akhirnya memaki diri sendiri.
     Di tengah renungan ini, dengan pertanyaan demi pertanyaan yang tidak kunjung tiba jawabannya. Aku terlelap dalam tidur, mangap, ngiler.

1 komentar: