Holiday
Dua bulan lebih
liburan telah ku lewati dengan tidak jelas, aku berserta Satya CS kecuali
Putri. Merencanakan Liburan ke Bandung. Yeah! Holiday! Kita akan bersukaria di Bandung. Persiapan sudah matang,
semua ongkos sudah siap dan rencana kemana saja tempat yang akan kita kunjungi
sudah ada. Tapi tidak tau, apakah tempat-tempat itu bersedia kita kunjungi atau
tidak. Pokoknya, hajar bleh!
Malam ini aku berangkat ke Bandung,
seminggu setelah kepulangan Hani dan Dodi. Tiket kereta bisnis untuk satu orang
telah ku genggam. Dengan mata yang berbinal, eh maksudku berbinar, aku siap
berpetualan ke Bandung. Satya, Cabul, Momon, Agung dan satu lagi teman kerenku
Ntut, akan menyusulku beberapa hari kemudian. Sepertinya manusia biadab dengan
sebutan Ntut ini harus ku kenalkan dulu. Nama aslinya adalah Addy Hilman, dia
adalah anak sekeslaku dulu saat di SMA lama. Kita akrab karena Game Online.
Entah mengapa nama indahnya berubah menjadi N T U T. mungkin karena sifatnya
yang ngentutan. Tapi itulah kita, suka asal memberi nama pada sesuatu atau
seseorang.
Aku memberi kabar ke Hani kalau malam ini
aku menuju ke kotanya. Dari pada menjadi pengangguran karena aku belum mendapatkan
Universitas, lebih baik mencari pengalaman ke kota Kembang.
Setelah kemarin berpamitan dengan Jenia,
dia meminjamkanku sebuah Head Set putih
kesayangannya, dan namanya adalah si putih. Si putih memang spesial, harganya
aja udah bikin aku gigit kaos kaki, tapi kalau udah terpasang di kedua telinga,
nggak rugi deh harga gigitan kaos kaki itu.
Im
ready! Ibu, aku sudah siap menyusulmu~ uwoo uwoo. Ibuku sudah di Bandung
beberapa hari lalu. Ibu memang suka sekali pergi kesana-kesini, karena sudah
tidak ada Ayah lagi, dia mencari kesibukan sendiri ke berbagai kota mengunjungi
teman-teman SMAnya.
Malam ini aku diantar
kakakku menuju stasiun Tugu, seperti biasalah… Betty melaju dengan tidak
kencang. Melewati ramainya kota Jogja saat liburan tiba. Huft, bukan tidak
kencang lagi si Betty melaju, tetapi berhenti… iya berhenti! Macett!! Sial.
***
“Kiaracondong! Ayo yang turun di
Kiaracondong siap-siap.” Teriakan kondektur pagi itu membangunkanku. Kenapa aku
ceritanya langsung udah sampai di Bandung? Menurutku, menceritakan
kesendirianku itu hal yang tidak penting. Jadi nikmatilah ceritaku bersama
orang yang membuatku lebih hidup, karena bagiku sendiri itu neraka. Padahal Cuma
nggak mau nyeritain kalo aku dari tadi cuma tidur sambil mangap terus ngiler
kemana-mana.
Merasa otot-otot di mata sipitku sudah segar
bugar, aku siap untuk menikmati hariku di Bandung. Setelah stasiun ini ku
lewati, aku akan memijakkan langkah-langkah kecilku di Bandung. Langkah kecil
yang akan membuat perubahan besar, hahaha udah kaya Neil Amstrong.
Alunan musik dengan bas yang nggak santai
keluar dari Si putih yang bekerjasama dengan Bebi, menemaniku hingga stasiun Kota
Bandung. Dengan senyuman lebar dan segarnya suasana pagi ini, begitu antusias aku
menghirup asap rokok mas-mas yang duduk di depanku. Udara yang tidak penting
ini harus menutupi udara segar pagi hari kota kembang.
“Ting ting ting tung, tung ting ting tung”
suara khas stasiun menyambut kedatanganku pagi ini. Langit terlihat masih gelap
saat aku meletakkan kakiku di lantai, tiba-tiba lampu menyala dan menyorotku!
Jeng! Jeng jeng jeng! Dengan close up pada wajahku, aku berkata “Every day I’m shuffling!”. Hahahahaprek,
aku tertawa senyum-senyum sendiri saat membayangkan kalau itu terjadi beneran.
Saat lagi asik membayangkan hal-hal cacat
yang tidak penting, tiba-tiba sesosok manusia tua dan berkumis tebal
menghampiriku dari kejauhan. Bersama seorang pemuda botak, kira-kira berumur 30
tahun. Mereka berdua terlihat garang. Tanpa basa-basi, mereka langsung meraih
tas koperku! Secara reflek, aku melihat pemuda botak itu dan memegang
tangannya.
“Mamang egooottt, masih botak aja deh!”
Sapaku kegirangan karena bertemu kakak sepupu paling keren. Bentuknya kaya Vin
Disel tanpa tattoo.
“Hahaha, cicing bae nyak. Cilepeng!”
Sambutnya dengan tawa lebar sambil mengacuhkan tanganku yang ingin bersalaman
dan langsung mengacak-ngacak rambutku.
“Halah, ngomong opo toh maasss. Hai
engking, kabarnya gimana?” dengan muka datar aku langsung menoleh ke sosok
manusia berkumis tebal itu.
“Apik-apik wae lah dub.” Jawab engking
kumis dengan nada jawa yang aneh.
Mereka memang selalu menyenangkan jika
bertemu. Pagi itu memang pagi yang aneh, mungkin karena ada aku. Kami langsung
melanjutkan perjalanan menuju Lembang, siap untuk menyerbu makanan-makanan yang
sudah disiapkan Enin (panggilan untuk nenek di sunda).
***
Saat di perjalanan menuju Lembang, aku
menelfon Jenia. Tetapi, jam menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Sudah
pasti dia tidak akan mengangkat karena mungkin masih tidur. Okelah, bbm saja
kalau begindang. Dan tidak lupa juga bbm Hani, hehehe.
Pemandangan asli pegunungan tempat ini yang
didominasi pohon dan jurang, menandakan sebentar lagi aku akan menikmati
makanan yang melimpah, dan aku bingung apa hubungannya antara pemandangan dan
makanan.
“Ahhh~” sedang asik membayangkan makanan
yang akan ku biadabi, tiba-tiba si Bebi mendesah.
“Sayang udah sampe?” Terlihat isi pesan
dari Jenia.
Sambil memandang Display Picture Jenia, aku tersenyum kangen, kemudian aku membalas
bbmnya “Iya cinta, tadi aku mau telfon tapi paling kamu masih tidur. Ini baru
di jalan mau ke Lembang. Miss you :*
sayang.”
“Alhamdulillah sudah sampai. Mmm, aku nggak
kangen tuh :p hahaha.” Jawab Jenia nantang.
“Oke Jen! Fine ya nggak kangen, terserah!
Urusanmu! Aku kangen.”
“Iya deh iya sayang, nggak usah ngambek
gitu. Ntar tak gantung lho di depan pintu rumah. Nggak mau kan? Pasti di dalem mobil
itu bibirmu tambah monyong deh gara-gara manyun, idungnya ntar tambah keliatan
pesek lho say.” Goda Jenia yang suka banget nyindir hidung eksotisku,
mentang-mentang hidungnya mancung nggak ketulungan. Dasar keturunan Belanda
menyebalkan, dia penjajah! Penjajah kemerdekaan hidungku.
***
Hari-hariku di Bandung sangat menyenangkan,
apalagi dengan keluarga yang cicing pisan dah, borokok jawa koek. Tapi
hari-hari menyebalkan juga ada, aku paling benci disaat mereka berkumpul dan
bersenda gurau, tertawa, terlihat sekali yang ditertawakan mereka adalah hal
yang benar-benar lucu. Saat mereka tertawa terkekeh nggak karuan, aku hanya
bisa terdiam dan mencoba ikut tertawa, tetapi tidak bisa. Aku tidak mengerti
apa yang mereka bicarakan! Apalagi yang mereka tertawakan, kalo ngobrol pake
bahasa jawa aja sih, mana ngarti abdi teh. Setiap mereka selesai tertawa, pasti
mereka menoleh ke arahku secara bersama-sama, lalu melontarkan pertanyaan
dengan bahasa sunda “ngarti ente jawa? Haha,” aku cuma bisa menggelengkan
kepala, dan mereka makin terkekeh geli, puas kabeh.
Ini Indonesia! Plis deh, ini negara
demokrasi, bukan negara diskriminasi. Jangan lupa Bhineka Tunggal Ika, masa
yang orang jawa didiskriminasi di sunda. Tunggu pembalasanku nanti. Aku hanya
bisa bergumam sendiri di dalam hati dengan tekat membara seperti Soekarno saat
pidato proklamasi sambil menikmati taman bunga di belakang rumah. Bau khas dari
kotoran sapi dan pupuk tanaman mengingatkanku pada Jenia, aku juga bingung
kenapa bisa begitu, mungkin karena kangen ya? Semua-semua jadi tentang kamu.
Hahaha, kasian kamu Jeniaku sayang.
Sore ini aku hanya bisa menikmati
pantat-pantat sapi di belakang rumah, melihat para sapi-sapi semok yang sedang
diperas susunya. Pemandangan yang tidak mungkin aku nikmati di belakang
rumahku. Pasti kalo ada Cabul disini, aku susah bedain deh, antara pantat sapi
dan Cabul. Dua hari lagi mereka baru datang, manusia jawa akan menguasai.
***
Nanti malem Satya CS berangkat dari jogja,
besok subuh baru sampai. Aku memutuskan untuk menginap di rumah Hedot, di
rumahnya juga ada Bowo. Mereka adalah temanku dan teman-teman Satya CS juga di
Jogja. Karena sedang liburan, Bowo ikut Hedot ke Bandung. Mereka sudah satu
minggu di Bandung. Aku menginap di sini karena rumah Hedot berada di Taman
Sari, dekat dari pusat kota dan tentunya stasiun.
Siang ini kami habiskan waktu dengan
bermain PS 3 yang ada di sebelah rumah, bermain sepak bola yang menurutku sih
nggak penting sekali. Ngapain aku jauh-jauh ke Bandung kalo cuma buat main Bola
di PS 3, di Jogja juga bisa. Tapi apa daya, aku tidak bisa menolak muka
menantangnya si Hedot yang sepertinya meremehkan kemampuanku menggenggam Stik
PS.
Permainan yang tak membosankan ini ternyata
sudah memakan waktu 5 jam, dan tak terasa sudah jam 7 malam. Aku dan Hedot
sangat hanyut dengan permainan ini. Setelah lelah dan sadar sudah bermain
selama itu, kami baru ingat kalo ada satu manusia lagi. Dimana si Bowo? Siapa
yang mau nyulik orang kaya Bowo? Hina sekali penculiknya, buta, bego, cacat
kalo sampe itu terjadi. Nggak lulus dia jadi penculik.
“Ngapa tang?” Sapa Bowo yang sepertinya
mengetahui pikiran cacatku.
“Hehehe, nggak papa kok wok. Tak kira kamu
ilang. Aku nggak mikir kalo kamu diculik kok, dan aku nggak ada pikiran kalo
sampe ada yang nyulik kamu tu berarti penculiknya bego, cacat, buta dan
penculiknya pasti nggak lulus jadi penculik.” Aku menjawab sambil cengengesan
dan mengacungkan dua jari tanda damai.
“Woo, bintang kutang!” Bowo menjawab tandas
dengan bibir manyun. “Aku nggak se hina itu juga sih.” Sindirnya sambil
mengernyitkan dahi dan menghisap rokok yang barusan dia beli.
Mendengar percakapan barusan, sontak
membuat Hedot tak bisa menahan tawanya. Hedot hanya terkekeh geli melihat
kelakuan kami.
“Ayo ke CK, kita minum teman kitaaaa!
Hahaha.” Ajak Hedot sambil merangkulku dan tertawa sendiri.
Dengan garing, aku dan Bowo hanya saling
memandang dengan muka homo yang datar.
“Ngomong apa sih kamu dot? Sumpah nggak
jelas banget, stress nih orang.” Seruku sambil menyalakan rokok yang ku minta
dari Bowo, kami saling hisap, hisap batang rokok.
“Ahh, otak pada di pantat semua sih. Kita
menghangatkan diri dengan Bir BINTANG! BINTAAANNGG! Temen kita kan namanya
BINTANG!!!” geram Hedot sambil mengacungkan jari telunjukknya ke arahku! Ke arah
hidung seksiku lebih tepatnya, dia menunjukku dengan wajah serius dan mata yang
berbinar-binar.
Aku dan Bowo tersentak kaget setelah
melihat apa yang dilakukan Hedot dengan penuh semangat membara menujukku,
menunjuk hidung seksiku. Sambil saling berpandangan kita hanya terkekeh geli, aku
melihat mata Bowo yang mengatakan kalau kita satu pikiran. Pasti Hedot udah
kelamaan nggak punya pacar, jadinya stress kaya gitu, sukannya nunjuk-nunjuk
cowok, batinku sambil melihat Bowo dengan penuh birahi.
***
Malam ini sudah 4 botol kami habiskan, rasa
hangat di tubuh dan sedikit melayang menyelimuti kami. Walaupun malam belum
larut, daerah ini sudah terlihat sepi. Karena memang daerah ini sangat ramai
kalau siang hari, dan malam hari hanya beberapa kendaraan yang melintas.
Aku mencari Bebi yang dari siang ku tinggal
di kamar Hedot, oh damn! Ada 13 miss call 3 bbm masuk. Saat ku buka, terlihat 7 miss call dari Jenia dan 6 dari Hani.
Setelah aku laporan atas apa yang terjadi dari
siang tadi. Murka Jenia harusku telan dari gagang telfon, Jenia berkata ini itu
blablabla panjang lebar.
“KAMU TU NGAPAIN MABOK-MABOK SEGALA, UDAH
KEREN PO KALO MABOK GITU? TAMBAH GANTENG? PUAS? JADI ANAK GAHOL BANDUNG GITU
KALO MABOK?” DORR meledak.
Jenia nyerocos tanpa henti. Karena aku
belum terlalu sadar, aku hanya bisa mengangguk dan mengangguk dengan bego.
“KAMU TU KALO DIKASIH TAU JAWAB KEK!” Amuk
Jenia dengan suara yang nggak santai.
“Iya iya sayang, aku udah ngangguk-ngangguk
nih lho. Dari tadi kamu ngomong juga aku ngangguk terus kok.” Jawabku dengan
polosnya seperti tidak ada yang terjadi.
“Hellooooo pacarku tersayang, ini telfon,
bukan 3G. Plis deh yang. Ganteng, rangking, lucu tapi kalo bego ya tetep bego
deh.” Sindirnya sambil menurunkan nada suara yang dari tadi benar-benar
terdengar sangat tinggi.
“Oh iya ya? Hehehe...” aku hanya bisa
tertawa kecil melihat kelakuanku, melihat? Gimana caranya melihat kelakuan
sendiri? Begonya nggak ketulunagan.
Setelah beberapa menit diceramahi Jenia,
sekarang gentian Hani yang nyerocos di
sebrang BBM tapi dengan kata-kata dan nada yang lebih lembut.
“Bintang sayang, jangan minum-minum lagi
ya. Ntar kalo ketemu aku, botolnya bisa masuk ke mata kamu lho, belum pernah
kan ngerasain kelilipan BBB? Botol Bir Bintang.” Ujarnya dengan suara yang
terdengar lucu.
“Iya Hani, enggak lagi kok. Ini juga
gara-gara dipaksa oleh udara dingin di disini. Enak nih menghangatkan diri
dengan 4 botol bir.” Jawabku dengan penuh alibi nggak penting. “You’re beautiful, cause baby you’re firework
and girl like you is imposible to find.” Godaku ke Hani. Sejenak aku
kembali menikmati suaranya.
“Apasih kamu nih tang, lagi dikasih tau
malah nggombal.” Balas Hani dengan suara rendah yang terdengar malu-malu.
“Hahaha, ya biar berhenti nyerocos kamunya.
Sana gek cari cowok, masa harus aku terus sih yang nggombalin kamu. Ntar siapa
yang nggombalin Jenia?” Aku bertanya pelan sambil berjalan ke parkiran dan
memandang langit yang penuh bintang.
“Iya deh iya, tapi nggak sekarang juga
tang. Ntar juga ketemu temen baru. Maaf ya jadi bikin kamu ngedua lagi.”
“Nggak papa, yang penting kamu bisa semangat
lagi dan bisa ceria lagi. Ntar masalah Jenia, biar aku yang tanggung. Kamu tu
adiknya Dodi, dia aja bisa bikin aku semangat kok. Masa aku nggak bisa bikin
adiknya semangat juga. Langit malem ini cerah banget tuh, kalo kamu mau ngerasa
tenang, liat aja ke langit. Banyak bintang! Coba, cari bintang mana yang lagi
aku liat? Hahaha.”
“Makasih tang, kamu emang cowok yang
bener-bener baik tapi selalu salah dalam melakukan kebaikan, hahaha.” Sindir
Hani yang suaranya mulai terdengar sedu dan diiringi dengan tangisan. “Gimana
mau liat, bintangnya buanyak! Tapi aku bisanya denger bintang hatiku di sebrang
telfon ini, walaupun nggak bisa nyari di langit.”
Perbincangan malam itu dengan Hani di
telfon, membuatku tersadar. Aku melakukan kesalahan lagi, aku mulai mengulang
kejadian dulu. Aku harus bagaimana? Apa yang harus ku lakukan? Pertanyaan dalam
hati yang tidak akan ada yang mendengar, apalagi menjawabnya. Hati kecilku
mengamuk, dia ingin memberontak agar aku tidak meneruskan ini. Jangan buat
Jenia merasakan pahitnya kopi espresso.
Aku hanya terduduk kaku di atas karpet yang
tergelar di balkon depan kamar Hedot, memandang taburan bintang yang menghiasi
malam ini. Berfikir dan bertanya pada binang-bintang di atas. Di satu sisi, aku
tidak ingin menyakiti Hani. Di sisi lain aku tidak ingin menghancurkan hati
Jenia. Tapi kalau aku terus melakukan ini, yang ada dua-duanya mati dah. Parah
banget deh aku, hina sekali! Teriakku dalam hati yang kebingungan dan akhirnya
memaki diri sendiri.
Di tengah renungan ini, dengan pertanyaan
demi pertanyaan yang tidak kunjung tiba jawabannya. Aku terlelap dalam tidur,
mangap, ngiler.
absen. udah baca :)
BalasHapus